Search-form

Selamat Membaca ..... elhaniyya.blogspot.com

Hindun binti 'Uthbah

Rabu, 27 Oktober 2010

Beliau adalah Hindun binti ‘Uthbah bin Robi’ah bin Abdi Syams bin Abdi Manaf al-Umawiyah al-Qurasyiyah. Ibunya bernama Shafiyyah binti Umayyah bin Haritsah bin al-Auqashi bin Murah bin Hilal bin Falih bin Dzikwan bin Tsa’labah bin Bahtah bin Salim.

Hindun adalah seorang wanita yang memiliki sifat yang luhur di antara wanita-wanita di Arab. Dia adalah wanita yang fasih bicaranya, pemberani, kuat, dan berjiwa besar, seorang pemikir, penyair, dan seorang wanita yang bijak, beliau telah mengangkat kemuliaan dirinya dan nasabnya. Putra beliau yang bernama Mu’awiyah binti Abi Sofyan bercerita tentang beliau, ” Ibuku adalah wanita yang sangat berbahaya di masa Jahiliyah dan di dalam Islam menjadi seorang wanita yang mulia dan baik.”

Imam Ibnu Abdil Barr berkata tentang Hindun,”Beliau adalah seorang wanita yang berjiwa besar dan memiliki kehormatan.”

Ayahandanya menikahkan beliau dengan Fakihah binti Mughirah al-Makhzumi dan darinyalah beliau melahirkan dua anak kemudian setelah itu keduanya cerai. Beliau berkata kepada kedua orang tuanya, “Aku adalah wanita yang memiliki hak, maka janganglah menikahkan diriku dengan seorang laki-laki sebelum menawarkannya kepadaku.” Orang tuanya berkata, “Itu terserah kamu.”

Pada suatu hari orang tuanya berkata kepadanya, “Sesungguhnya ada dua orang laki-laki dari kaummu sendiri yang datang melamarmu, aku tidak akan menyebutkan nama salah satu di antara mereka sebelum aku sebutkan ciri-ciri mereka kepadamu. Adapun yang satu adalah seorang yang terhormat, terpandang kemuliaannya, engkau dapat mempengaruhinya karena kebodohannya, halus perangainya, pandai bergaul, penurut, jika kamu mengikutinya, maka dia akan mengikutimu, jika kamu menyimpang maka dia tetap bersama kamu, kamu dapat mengurus hartanya dan cukuplah kekurangannya engkau tutup dengan kecerdasanmu.”

Adapun yang kedua, dia memiliki kehormatan, nasab dan kecerdasan yang tulen, gesit geraknya, berwibawa keluarganya, dia dapat mengatur keluarganya sedangkan keluarganya tunduk kepadanya, ia akan memberi kemudahan bagi mereka untuk mengikutinya, jika mereka menjauhinya itu adalah aib bagi mereka, memiliki semangat yang tinggi dan amat cepat terbangnya (lincah), kecil perutnya, jika lapar itu sudah biasa, jika berdebat tak dapat dikalahkan.

Ayahnya berkata, “Telah aku jelaskan kepadamu perihal mereka berdua,” Hindun berkata: “Adapun laki-laki yang pertama, dia adalah tuan yang akan lenyap kemuliaannya, akan membinasakan isteri jika kelak dia tak dapat menjaga untuk senantiasa berlemah lembut dengannya setelah tadinya menolaknya, dia akan merendahkan diri dibawah lambung isterinya, jika menghasilkan keturunan menjadi anak yang bodoh, jika melahirkan maka menjadi salah karenanya.”

Kemudian Hindun melanjutkan, “Urungkanlah laki-laki tersebut dariku dan tidak usah engkau sebutkan namanya kepadaku.”

Adapun yang satunya kelak menjadi suami yang memiliki kemerdekaan yang sebenarnya, sesungguhnya aku tertarik dengan kepribadiaannya dan aku menjadi isterinya, karena aku akan dapat bergaul dengannya dengan kesetiaanku dan sedikit kekuranganku, dan sesungguhnya dilihat dari segi nasab antara aku dengannya maka alangkah pantasnya dan tiada penghalang bagi kami untuk berumah tangga, melindungi hakikat kecantikan yang sebenarnya tanpa perwakilan dan perantara tatkala berbincang-bincang, siapakah laki-laki tersebut?”

Berkatalah ayahnya yang bernama Utbah, “Dia adalah Abu Sufyan bin Harb.” Hindun berkata, “Nikahkanlah aku dengannya, namun jangan tergesa-gesa seperti orang yang “beser”, jangan pula mendiktenya seperti api di tungku dan memintalah pilihan kepada Allah di langit agar memilihkan untukmu dengan ilmu-Nya terhadap qadha.”

Begitulah, kita melihat bagaimana Hindun menghadapi kesulitan, dia angkat kepalanya ke atas puncak, dia tidak mau menikah dengan baik-baik, akan tetapi nantinya suaminya hanya menjadi boneka yang dia permainkan seenaknya, akan tetapi dia menghendaki seoang suami yang memiliki kepribadian, mulia dan kuat, sehingga suami tersebut dapat menjadi pendamping dirinya, bukan dirinya yang menjadi pendamping suaminya.

Hindun menjalani kehidupan rumah tangganya bersama Abu Sufyan, dan kita melihat bahwa semangat Hindun untuk mendapatkan kemuliaan lebih besar dari sekedar keinginannya dalam menumpahkan syahwat seorang laki-laki terhadap wanita.

Dia memiliki ambisi yang serius terhadap sesuatu yang dia yakini bahwa dirinya mampu. Di antara bukti yang menunjukkan hal itu adalah bahwa suatu ketika orang-orang melihatnya sedang bersama putranya yang bernama Mu’awiyah, maka ketika itu orang-orang sama bergumam, “Jika anak ini sudah besar, kelak akan memimpin kaumnya.”

Pujian tersebut tidak membesarkan hatinya, bahkan dengan rasa tidak puas dan ingin lebih dari itu dia berkata, “Celakalah dia jika hanya menjadi pemimpin kaumnya saja.”

Ketika terjadi perang Badar al-Kubra terbunuhlah dalam peperangan tersebut ayah Hindun dan pamannya yang bernama Syaibah dan saudaranya yang bernama al-Walid. Maka tumbuhlah dihati Hindun rasa dendam yang membara, ketika di pasar Ukazh dia bertemu dengan al-Khansa’ yang bertanya kepadanya, “Apa yang membuatmu menangis wahai Hindun?”, Maka dia menjawab:

Aku menangis karena rasa sakitnya dua luka

Menjaga keduanya dari perusak yang akan membinasakannya

Aku menangis karena ayahku Utbah yang telah berbuat baik

Duhai celakanya?.ketahuilah

Juga karena Syaibah yang telah menjaga yang patut untuk dibela

Mereka itulah keluarga yang mulia di atas rata-rata keluarga

Di saat kewibawaan mulai tumbuh berlipat ganda.

Ketika perang Uhud, Hindun bin Utbah memainkan peranan sebagai juru perang yang handal, yang mana dia keluar bersama kaum musyrikin Qurasy dan ketika itu pemimpin mereka adalah suaminya, yakni Abu Sufyan, Hindun memberikan semangat berperang kepada orang-orang Qurasy bersama wanita musyrikin lainnya sambil memukul rebana dan bersyair:

Kami adalah wanita-wanita jalanan

Yang berjalan membawa bantal yang empuk

Jika kalian maju kami peluk

Jika kalian lari akan kami cerai

Dia juga mengulang-ulang syair:

Wahai Bani Abdi Daar

Wahai para pejuang

Pukullah dengan segala senjata yang tajam

Pada masa itu Hindun tertulis dalam lembaran yang hitam kelam yang tak pernah dilupakan oleh sejarah. Lembaran tersebut berupa perlakuannya terhadap bapak dari para syuhada’ dan penghulunya, yakni Hamzah bin Abdil Muthallib. Dia telah memerintahkan kepada al-Wahsy bin Harb, budaknya, dengan menjanjikan kemerdekaan bagi dirinya jika mampu membunuh Hamzah dan membalas dendamnya, senantiasa berkobar api permusuhan di dadanya dan dia berkata, “Wahai Abu Dasmah obatilah aku?sembuhkanlah luka hatiku.”

Ucapan tersebut tidaklah mengherankan keluar dari mulut seorang yang menyimpan dendam kesumat, akan tetapi yang tidak dapat diterima adalah perlakuannya yang tidak wajar terhadap mayat pahlawan yang syahid –yang telah dibunuh di luar batas kewajaran dengan memotong hidung dan kedua telinganya, kemudian merobek perutnya serta mengambil jantungnya lalu dikunyahnya, hanya saja ia tidak kuasa untuk menelannya maka diludahkan kembali, kemudian dia naik ke atas bukit dengan rasa puas, lalu berteriak dengan suara lantang:

Telah Kami balas kekalahan kami di perang Badar

Perang demi perang terus berkobar

Tiada bersabar diriku atas kematian Utbah ayahku

Tidak juga saudara dan pamanku

Telah kuobati luka hatiku dan telah kutebus nadzarku

Wahsyi telah hilangkan rasa haus di hatiku

Terima kasihku kepada Wahsy terhadap umurku

Hingga terkelupas dagingku di dalam kuburku.

Hindun juga berkata:

Telah terobati dendamku terhadap Hamzah di perang Uhud

Hingga kuambil jantungnya dengan merobek perutnya

Sirna sudah rasa sakit di hati

Dari kegundahan yang tiada berperi

Begitulah, hingga Hindun mendapatkan gelar yang cukup mengganggunya yang terus terngiang-ngiang di telinganya seteleh keislamannya, yaitu julukan “Aklatul Akbad” (Wanita pemakan jantung). Hindun terus menerus dengan kesombongan dan kebanggaan jahiliyahnya hingga kalimat Allah berjaya dan terjadi hari kemenanagan yang nyata (Fathul Makkah). Takdir Allah SWT agar pahlawan jahiliyah wanita berubah menjadi pahlawan Islam wanita. Pada malam penaklukan Mekah dan tatkala Fathu Makkah Abu Sofyan bin Harb kembali bersama Rasulullah saw sebagai seorang Muslim dan dia berteriak lantang: “Wahai orang-orang Qurasy ketahuilah sesungguhnya aku telah masuk Islam, maka masuk Islamlah kalian! Sesungguhnya Muhammad telah datang kepada kalian dengan sesuatu yang tidak mungkin kalian hadapi, barangsiapa yang masuk ke dalam rumah Abu Sofyan maka dia selamat.”

Maka berdirilah Hindun dan memegang jambangnya seraya berkata, “Seburuk-buruk pemimpin kaum adalah engkau? wahai penduduk Mekah berperanglah kalian, alangkah buruknya pemimpin kaum ini.”

Abu Sofyan berkata, “Celakalah kalian? janganlah kalian terperdaya dengan ocehannya, sungguh Muhammad telah datang dengan membawa kekuatan yang tidak mungkin kalian hadapi, barangsiapa yang masuk ke rumah Abu Sofyan, maka dia aman. Mereka berkata: “Semoga Allah membinasakanmu, mana cukup rumahm untuk menampung kami?” Kemudian dia berkata, ” Barang siapa yang menutup pintunya maka dia aman dan barang siapa masuk masjid maka dia aman. “Kemudian ketika itu orang-orang berpencar ada yang masuk ke dalam rumah dan adap pula yang masuk ke dalam masjid.

Pada hari kedua setelah Fathu Makkah Hindun berkata kepada suaminya, Abu Sofyan, “Aku ingin mengikuti Muhammad, maka bawalah aku menghadapnya.”Abu Sufyan berkata,” Sungguh aku melihat kemarin kamu benci dengan perkataan tersebut?” Berkata Hindun, “Demi Allah aku belum pernah melihat Allah disembah dengan sebenar-benarnya di dalam masjid sebagaimana yang aku lihat kemarin malam, demi Allah kemarin malam aku melihat orang-orang tidak melakukan selain salat dengan berdiri, rukuk, dan bersujud.”

Abu Sufyan berkata kepadanya, ” Sesungguhnya engkau telah banyak berbuat salah, maka pergilah kamu bersama laki-laki dari kaummu. “Maka Hindun pergi menemui Utsman bin Affan kemudian keduanya menghadap Rasulullah saw yang ketika itu bersamaan pula dengan para wanita. Setelah dia minta izin dan diizinkan masuk, maka dia masuk dengan menggunakan cadar lantaran takut atas apa yang telah ia perbuat terhadap Hamzah, dia takut kalau-kalau Rasulullah akan membalas perbuatan tersebut. Hindun berkata: “Wahai Rasulullah, alhamdulillah yang telah memenangkan dien yang telah dipilih-Nya sehingga bermanfaat bagiku semoga Allah merahmati anda wahai Muhammad, sesungguhnya aku adalah wanita yang telah beriman kepada Allah, membenarkan Rasul-Nya,” Setelah itu Hindun membuka cadarnya seraya berkata, “Saya adalah Hindun bin Uthbah.”

Rasulullah saw bersabda, “Selamat datang untukmu.”

Hindun berkata, “Demi Allah dahulu tiada di muka bumi ini suatu kaum yang paling aku sukai untuk mendapat kehinaan melainkan kamu, akan tetapi sekarang tiada di muka bumi ini suatu kaum yang paling aku sukai untuk mendapatkan kemuliaan melainkan kaummu.”

Maka Nabi saw bersabda, “Dan lebih dari itu.” Kemudian beliau membacakan Alquran kepada para wanita tersebut dan membai’at mereka. Hindun berkata di tengah-tengah mereka, “Wahai Rasulullah haruskah kami menjabat tanganmu?” Kemudian Nabi saw bersabda:

“Sesungguhnya aku tidak berjabat tangan dengan wanita dan bahwasanya perkataanku kepada seratus wanita sama sebagaimana kepada seorang wanita.”

Selanjutnya Rasulullah saw bersabda, “Apakah kalian membai’atku untuk tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu pun?” Hindun berkata, “Demi Allah sesungguhnya anda telah meminta dari kami apa yang tidak anda minta dari kaum laki-laki, kami akan menerima dan melaksanakannya.”

Kemudian Nabi melanjutkan, “Dan janganlah kalian mencuri.”

Hindun berkata, “Wahai Rasulullah saw sesungguhnya Abu Sofyan adalah suami yang bakhil, maka apakah boleh bagiku untuk mengambil makanannya tanpa seijinnya?” Maka Rasulullah saw memberikan rukhsah baginya untuk kurma basah dan tidak memberikan rukhsah untuk kurma kering.”

Rasulullah saw melanjutkan, “Dan janganlah kalian berzina.”

Hindun berkata, “Mungkinkah seorang wanita merdeka berzina?”

Nabi melanjutkan, “Dan janganlah kalian membunuh anak-anak kalian.”

Hindun menjawab, “Sungguh telah kami pelihara mereka sejak kecil kemudian kalian telah membunuhnya di perang Badar tatkala dewasa, maka engkau lebih tahu akan hal itu, begitu pula mereka (para sahabat).” Maka ketika itu Umar bin Khattab tertawa mendengar perkataan Hindun tersebut, hingga lama sekali.

Kemudian Rasulullah saw bersabda, “Dan janganlah berbuat dusta yang diada-adakan antara tangan dan kaki kalian.”

Hindun berkata, “Demi Allah sesungguhnya kedustaan itu amatlah buruk.”

Nabi saw melanjutkan, “Dan janganlah kalian mendurhakaiku dalam urusan yang baik.”

Hindun menyahut, “Tidaklah kami akan duduk di majelis ini jika hendak mendurhakai anda dalam urusan yang makruf.”

Begitulah sikap Hindun di hadapan Rasulullah saw dengan kepribadiaannya yang kuat dan keimanannya yang tulus berdialog, bertanya dan mengulang-ulangnya.

Tatkala Hindun pulang ke rumahnya, langsung menuju patung-patung di rumahnya dan menghancurkannya dengan sebuah kapak besar hingga berkeping-keping seraya berkata, “Dahulu kami tertipu olehmu? dahulu kami tertipu olehmu.”

Hari-hari berlalu dan semakin bertambahlah pengetahuan Hindun dalam masalah keimanan, sehingga membawa dirinya untuk berjihad menyertai kaum Muslimin. Beliau bersama suaminya, yakni Abu Sufyan menyertai perang Yarmuk yang terkenal itu, hingga mendapatkan luka yang serius, beliau juga memompa semangat kaum Muslimin untuk memerangi Romawi dengan mengatakan, “Percepatkalah kematian mereka dengan pedang kalian wahai kaum Muslimin.”

Hindun juga turut meriwayatkan dari Nabi dan begitu pula putra beliau Mu’awiyah binti Abi Sofyan meriwayatkan dari beliau dan Aisyah Ummul Mukminin.

Pada tahun ke-14 Hijrah wafatlah Hindun binti Utbah. Selamat jalan Hindun, wanita yang kuat!

Sumber: Nisaa’ Haular Rasuuli, Mahmud Mahdi al-Istanbuli dan Mushthafa Abu Nashr asy-Syalabi

Al-Islam – Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia

www.alislamu.com
Readmore »» Hindun binti 'Uthbah

Ummi Kultsum binti Ali bin Abi Thalib

Beliau adalah Ummu Kultsum binti Ali bin Abi Thalib, orang yang pertama kali masuk Islam dari golongan anak, memiliki kedudukan yang tinggi dan posisi yang luhur di sisi Rasulullah. Beliau juga putri khalifah Rasyidin yang keempat. Kakeknya adalah penghulu anak Adam. Ibu beliau adalah ratu wanita ahli jannah, Fathimah binti Rasulullah, sedangkan kedua saudaranya adalah pemimpin pemuda ahli jannah dan penghibur hati Rasulullah.


Dalam lingkungan yang mulia seperti inilah pada zaman Rasulullah Ummu Kultsum dilahirkan, tumbuh berkembang dan terdidik. Beliau adalah teladan bagi para gadis muslimah yang tumbuh di atas dien, keutamaan dan rasa malu.

Amirul Mukminin Umar bin Khathab al-Faruq , Khalifah Rasyidin yang kedua mendatangi ayahnya untuk meminang beliau. Akan tetapi, mulanya Imam Ali bin Abi Thalib meminta ditunda, karena Ummu Kultsum masih kecil. Umar berkata: “Nikahkanlah aku dengannya wahai Abu Hasan, karena aku telah memperhatikan kemuliannya, yang tidak aku dapatkan pada orang lain.” Maka Ali meridhainya dan menikahkan Umar dengan putrinya pada bulan Dzulqa’dah tahun 17 Hijriyah, dan hidup bersama hingga terbunuhnya Umar. Dari pernikahannya mendapatkan dua anak, yaitu Zaid bin Umar al-Akbar dan Ruqayyah binti Umar.

Yang mengesankan pada Ummu Kultsum, istri dari Amirul Mukminin, bahwa suatu ketika Umar keluar pada malam hari seperti biasanya untuk mengawasi rakyatnya (inilah keadaan setiap pemimpin yang bertanggung jawab terhadap yang dipimpinnya dalam naungan daulah Islamiyah ). Beliau melewati suatu desa di Madinah, tiba-tiba beliau mendengar suara rintihan wanita yang bersumber dari sebuah gubug, di depan pintu ada seorang laki-laki yang sedang duduk. Umar mengucapkan salam kepadanya dan bertanya kepadanya tentang apa yang terjadi. Laki-laki tersebut berkata bahwa dia adalah seorang Badui yang ingin mendapatkan kemurahan hati Amirul Mukminin. Umar bertanya tentang wanita di dalam gubug yang beliau dengar rintihannya. Laki-laki tersebut tidak mengetahui bahwa yang berbicara dengannya adalah Amirul Mukminin, maka dia menjawab, “Pergilah anda dan semoga Allah merahmati anda sehingga mendapatkan yang anda cari, dan janganlah anda bertanya tentang sesuatu yang tak ada gunanya bagi anda.”

Umar kembali mengulang-ulang pertanyaannya agar dia dapat membantu kesulitannya jika mungkin. Laki-laki tersebut menjawab, “Dia adalah istriku yang hendak melahirkan dan tak ada seorang pun yang dapat membantunya.” Umar bertolak meninggalkan laki-laki tersebut dan kembali ke rumah dengan segera. Beliau masuk menemui istrinya, yakni Ummu Kaltsum dan berkata,” Apakah kamu ingin mendapat pahala yang Allah akan limpahkan kepadamu?” Beliau menjawab dengan keadan yang penuh antusias dan berbahagia dengan kabar gembira tersebut yang mana beliau merasa mendapatkan kehormatan karenanya, “Apa wujud kebaikan dan pahala tersebut Wahai Umar?” Maka Umar memberitahukan kejadian yang baru mereka temui, kemudian Ummu Kultsum segera bangkit dan dan mengambil peralatan untuk melahirkan dan kebutuhan bagi bayi, sedangkan Amirul Mukminin membawa kuali yang di dalamnya ada mentega dan makanan. Beliau berangkat bersama istrinya hingga sampai ke gubug tersebut.

Ummu Kultsum masuk ke dalam gubug dan membantu ibu yang hendak melahirkan dan beliau bekerja dengan semangat seorang bidan. Sementara itu, Amirul Mukminin duduk-duduk bersama laki-laki tersebut di luar sambil memasak yang beliau bawa. Tatkala istri laki-laki tersebut melahirkan anaknya, Ummu Kultsum secara spontan berteriak dari dalam rumah, “Beritakan kabar gembira kepada temanmu wahai Amirul Mukminin, bahwa Allah telah mengaruniakan kepadanya seorang anak laki-laki. Hal itu membuat orang badui tersebut terperanjat. Karena ternyata orang di sampingnya yang sedang memasak dan meniup api adalah Amirul Mukminin.

Begitu pula wanita yang melahirkan tersebut terperanjat, karena yang menjadi bidan baginya di gubug tersebut ternyata adalah istri dari Amirul Mukminin. Takjub pula orang-orang yang hadir menyaksikan realita yang berada dalam naungan Islam tersebut ketika seorang kepala negara dan istrinya membantu seorang laki-laki dan istrinya dari Badui.

Setelah berselang beberapa waktu lamanya, tangan yang berdosa dan dengki dengan Islam membunuh Umar bin Khatthab, sehingga Ummu Kultsum menjadi seorang janda.

Tatkala Ummu Kultsum wafat, Ibnu Umar menyalatkannya dan begitu pula putranya, Zaid, yang berdiri di sampingnya dan mereka berdua takbir empat kali.

Ya Allah ridhailah Ummu Kultsum seorang bidan muslimah.

Sumber: Nisa’ Haular Rasuuli, Mahmud Mahdi al-Istanbuli & Musthafa Abu an- Nashr as-Syalabi

Al-Islam – Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia


www.alislamu.com
Readmore »» Ummi Kultsum binti Ali bin Abi Thalib

Shafiyyah binti Abdul Muththalib

Beliau adalah seorang mukminah yang telah berba’iat kepada Rasulullah saw, seorang mujahidah, wanita yang sabar, ahli sya’ir yang mulia, Shafiyyah binti Abdul Muththalib bin Hisyam bin Abdi Manaf bin Qushay bin Kilab al-Qurasyiyah al-Hasyimiyah. Beliau adalah bibi Rasulullah saw, saudari dari singa Allah Hamzah bin Abdul Muththalib. Beliau juga seorang ibu dari sahabat agung, yaitu Zubair bin Awwam.

Shafiyyah ra tumbuh di rumah Abdul Muththalib, pemuka Quraisy dan orang yang memiliki kedudukan yang tinggi, terpandang, dan mulia. Dialah yang dipercaya untuk mengurus pendatang yang berhaji.

Seluruh aktifitas tersebut membekas pada diri Shafiyyah ra, sehingga membentuk kepribadian beliau yang kuat. Beliau adalah seorang wanita yang fasih lisannya dan ahli bahasa. Seorang cendekiawan dan penunggang kuda yang pemberani. Beliau ra termasuk wanita yang awal dalam mengimani putra saudaranya yang jujur dan terpercaya yaitu Muhammad saw, dan bagus keislamannya. Beliau berhijrah bersama putranya yang bernama Zubeir bin Awwam untuk menjaga keislamannya.

Shafiyyah ra menyaksikan tersebarnya Islam dan turut andil dalam menyebarkannya. Sungguh jihad merupakan darah dagingnya. Oleh karena itu, beliau tidak menyia-nyiakan kesempatan pada hari Uhud menjadi pelopor bagi para wanita yang ikut keluar untuk membantu para mujahidin dan mengorbankan semangat mereka untuk bertempur, disamping beliau juga mengobati mujahidin yang luka-luka di antara mereka.

Tatkala takdir Allah menghendaki kaum muslimin terpukul mundur karena pasukan pemanah menyalahi perintah Rasul saw sebagai panglima, maka banyak pasukan yang berpencar dari Rasullah saw. Namun, Shafiyyah tetap berdiri dengan berani, sedangkan di tangannya menggenggam tongkat dan beliau pukul wajah orang-orang yang mudurdari peperangan seraya berkata, “Kalian hendak meninggalkan Rasulullah saw?”

Manakala Shafiyyah mengetahui kesyahidan saudaranya, Hamzah bin Abdul Muththalib ra, yang dijuluki singa Allah yang dibunuh dengan sadis, maka Shafiyyah memberikan teladan yang agung bagi kita dalam hal kesabaran, ketabahan, dan ketegaran. Beliau sendiri mengisahkan kepada kita apa yang beliau saksikan, beliau berkata:

“Pada hari terbunuhnya Hamzah, Zubeir menemuiku dan berkata, ‘Wahai ibunda, sesungguhnya Rasulullah saw menyuruh anda agar kembali’. Beliau menjawab, ‘Mengapa? Sungguh telah sampai kepadaku tentang dicincangnya saudaraku, namun dia syahid karena Allah, kami sangat ridha dengan apa yang telah terjadi, sungguh aku akan bersabar dan tabah insya Allah. Setelah Zubeir ra memberitahukan kepada Rasulullah saw tentang komentarku beliau bersabda, ‘Berilah jalan baginya…!’ Maka aku mendapatkan Hamzah dan tatkala aku melihatnya aku berkata, ‘Inna Lillahi wa inna ilaihi Raji’un, kemudian aku mohonkan ampun baginya, setelah itu Rasulullah saw memerintahkan untuk menguburkannya’.”

Gambaran lain dari Shafiyyah sang mujahidah dan penunggang kuda ini adalah tatkala terjadi Perang Khandaq saat pasukan Yahudi mencoba menyerang tempat kaum wanita ketika itu para wanita muslimah dan anak-anak berada dalam sebuah benteng. Di sana ada juga Hassan bin Tsabit ra. Tatkala ada orang Yahudi mengelilingi benteng, sedangkan kaum muslimin sedang menghadapi musuh, maka berdirilah Shafiyyah ra dan berkata kepada Hassan, “Sesungguhnya lelaki Yahudi ini menjadikan kita tidak aman, karena mereka akan mengetahui kekurangan kita, maka berdirilah dan bunuhlah ia. Kemudian, Hassan berkata, ‘Semoga Allah mengampuni anda, sungguh anda mengetahui bahwa seperti itu bukanlah keahlian saya’.”

Ketika Shafiyyah mendengar jawaban Hassan, beliau langsung bangkit dan penuh semangat yang ada di jiwanya, beliau mengambil tongkat yang keras kemudian turun dari benteng. Beliau menunggu kesempatan lengahnya orang Yahudi tersebut lalu beliau memukulnya tepat pada ubun-ubun secara bertubi-tubi hingga dapat membunuhnya. Beliau memang “wanita pertama yang membunuh laki-laki”. Beliau kembali ke benteng dan tersirat kegembiraan pada kedua matanya, karena mampu menghabisi musuh Allah yang berarti pula menjaga rahasia persembuyian para wanita dan kaum muslimah dari mereka. Kemudian beliau berkata kepada Hassan, “Turunlah dan lucutilah dia, sebab tiada yang menghalangi diriku untuk melucutinya melainkan karena dia seorang laki-laki.” Hassan berkata: “Saya tidak berkepentingan untuk melucutinya wahai binti Abdul muththalib.”

Begitulah kaum muslimin mendapatkan kemenangan dalam perang ini dengan jiwa yang beriman dan pemberani yang tidak kenal istilah mustahil dalam meraih jalan kemenangan.

Tatkala Perang Khaibar, Shafiyyah ra keluar bersama kaum muslimah untuk memompa semangat pasukan kaum muslimin. Mereka membuat perkemahan di medan jihad untuk mengobati pasukan yang terluka karena perang.

Rasulullah saw merasa senang dengan peran para mujahidah sehingga mereka juga mendapatkan bagian dari rampasan perang.

Nabi saw mencintai bibinya, Shafiyyah ra, dan memuliakan beliau serta memberikan kepada beliau bagian yang banyak. Tatkala turun ayat: “Wa andzir ‘Asyiratakal aqrabin’ (Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat).” (As-Syura: 214).

Beliau bersabda, “Hai Fathimah binti Muhammad, hai Shafiyyah binti Abdul Muththalib, wahai Bani Abdul Muththalib, aku tidak kuasa menolong kalian dari siksa Allah. Mintalah kepadaku apa saja yang ada padaku.”

Shafiyyah ra mencintai Rasulullah saw sejak kecil dan mengikutinya. Beliau takjub dengan keadaan Nabi saw dan akhirnya mengimani kenabian beliau, menyertai beliau dalam peperangan, dan merasa sedih tatkala wafatnya Rasulullah saw yang beliau ungkapkan dengan sya’irnya yang indah:

Wahai mata, tampakkanlah air mata dan janganlah tidur

Tangisilah sebaik-baik manusia yang telah tiada

Tangisilah al-Musthofa dengan tangisan yang sangat

Yang masuk ke dalam hati laksana terkena pukulan

Nyaris aku tinggalkan hidup tatkala takdir datang padanya

Yang telah digariskan dalam kitab yang mulia

Sungguh beliau pengasih kepada sesama hamba

Rahmat bagi mereka dan sebaik-baik Pemberi petunjuk

Semoga Allah meridhainya tatkala beliau hidup dan mati

Dan membalasnya dengan Jannah pada hari yang kekal

Shafiyyah ra hidup sepeninggal Rasulullah saw dengan penuh kewibawaan dan dimuliakan. Semua orang mengetahui keutamaan dan kedudukan beliau. Hingga tatkala beliau wafat pada zaman Khalifah Umar bin Khaththab umur beliau mencapai lebih dari 70 tahun.

Semoga Allah merahmati Shafiyyah, sungguh beliau ibarat menara yang tinggi dalam sejarah Islam dan perjalanan hidup yang baik dalam hal pengorbanan dan jihad untuk menolong dinullah.

Sumber: Nisaa’ Haular Rasuuli, Mahmud Mahdi al-Istanbuli & Musthafa Abu an-Nashr asy-Syalabi

Al-Islam – Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia


www.alislamu.com
Readmore »» Shafiyyah binti Abdul Muththalib

Asma' binti Yazid bin Sakan (Juru Bicara Wanita)

Beliau adalah Asma’ binti Yazid bin Sakan bin Rafi’ bin Imri’il Qais bin Abdul Asyhal bin Haris al-Anshariyyah, al-Ausiyyah al-Asyhaliyah.
Beliau adalah seorang ahli hadis yang mulia, seorang mujahidah yang agung, memiliki kecerdasan, dien yang bagus, dan ahli argumen, sehingga beliau dijuluki sebagai “juru bicara wanita”.
Di antara sesuatu yang istimewa yang dimiliki oleh Asma’ ra adalah kepekaan inderanya dan kejelian perasaannya serta ketulusan hatinya. Selebihnya dalam segala sifat sebagaimana yang dimiliki oleh wanita-wanita Islam yang lain yang telah lulus dalam madrasah nubuwwah, yakni tidak terlalu lunak (manja) dalam berbicara, tidak merasa hina, tidak mau dianiaya dan dihina, bahkan beliau adalah seorang wanita yang pemberani, tegar, mujahidah. Beliau menjadi contoh yang baik dalam banyak medan peperangan.
Asma’ ra mendatangi Rasulullah saw pada tahun pertama hijrah dan beliau berba’iat kepadanya dengan ba’iat Islam. Rasulullah saw memba’iat para wanita dengan ayat yang tersebut dalam surat Al-Mumtahanah, “Hai Nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan yang beriman untuk mengadakan janji setia, bahwa mereka tidak akan menyekutukan sesuatu pun dengan Allah, tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak-anaknya, tidak akan berbuat dusta yang mereka ada-adakan antara tangan dan kaki mereka dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik, maka terimalah janji setia mereka dan mohonkanlah ampunan kepada Allah untuk mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al-Mumtahanah: 12).
Ba’iat dari Asma’ binti Yazid ra adalah untuk jujur dan ikhlas, sebagaimana yang disebutkan riwayatnya dalam kitab-kitab sirah bahwa Asma’ mengenakan dua gelang emas yang besar, maka Nabi saw bersabda, “Tanggalkanlah kedua gelangmu wahai Asma’, tidakkah kamu takut jika Allah mengenakan gelang kepadamu dengan gelang dari neraka?”
Maka, segeralah beliau tanpa ragu-ragu dan tanpa argumentasi untuk mengikuti perintah Rasulullah saw, maka beliau melepaskannya dan meletakkan di depan Rasulullah saw.
Setelah itu Asma’ aktif untuk mendengar hadis Rasulullah saw yang mulia dan beliau bertanya tentang persoalan-persoalan yang menjadikan dia paham urusan dien. Beliau pulalah yang bertanya kepada Rasulullah saw tentang tata cara thaharah (bersuci) bagi wanita yang selesai haidh. Beliau memiliki kepribadian yang kuat dan tidak malu untuk menanyakan sesuatu yang hak. Oleh karena itu, Ibnu Abdil Barr berkata, “Beliau adalah seorang wanita yang cerdas dan bagus diennya.”
Beliau ra dipercaya oleh kaum muslimah sebagai wakil mereka untuk berbicara dengan Rasulullah saw tentang persoalan-persoalan yang mereka hadapi. Pada suatu ketika Asma’ mendatangi Rasulullah saw dan bertanya, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya saya adalah utusan bagi seluruh wanita muslimah yang di belakangku, seluruhnya mengatakan sebagaimana yang aku katakan dan seluruhnya berpendapat sebagaiamana aku berpendapat. Sesungguhnya Allah SWT mengutusmu bagi seluruh laki-laki dan wanita, kemudiaan kami beriman kepada anda dan memba’iat anda. Adapun kami para wanita terkurung dan terbatas gerak langkah kami. Kami menjadi penyangga rumah tangga kaum laki-laki, dan kami adalah tempat melampiaskan syahwat mereka, kamilah yang mengandung anak-anak mereka. Akan tetapi, kaum lelaki mendapat keutamaan melebihi kami dengan salat Jumat, mengantarkan jenazah, dan berjihad. Apabila mereka keluar untuk berjihad, kamilah yang menjaga harta mereka, yang mendidik anak-anak mereka, maka apakah kami juga mendapat pahala sebagaimana yang mereka dapat dengan amalan mereka?”
Mendengar pertanyaan tersebut, Rasulullah saw menoleh kepada para sahabat dan bersabda, “Pernahkan kalian mendengar pertanyaan seorang wanita tentang dien yang lebih baik dari apa yang dia tanyakan?”
Para sahabat menjawab, “Benar, kami belum pernah mendengarnya ya Rasulullah!” Kemudian Rasulullah saw bersabda,“Kembalilah wahai Asma’ dan beri tahukanlah kepada para wanita yang berada di belakangmu bahwa perlakuan baik salah seorang mereka kepada suaminya, dan meminta keridhaan suaminya, saatnya ia untuk mendapat persetujuannya, itu semua dapat mengimbangi seluruh amal yang kamu sebutkan yang dikerjakan oleh kaum lelaki.”
Maka, kembalilah Asma’ sambil bertahlil dan bertakbir merasa gembira dengan apa yang disabdakan Rasulullah saw.
Dalam dada Asma’ terbetik keinginan yang kuat untuk ikut andil dalam berjihad, hanya saja kondisi ketika itu tidak memungkinkan untuk merealisasikannya. Akan tetapi, setelah tahun 13 Hijriyah setelah wafatnya Rasulullah saw hingga perang Yarmuk beliau menyertainya dengan gagah berani.
Pada perang Yarmuk ini, para wanita muslimah banyak yang ikut andil dengan bagian yang banyak untuk berjihad sebagaimana yang disebutkan oleh al-Hafidz Ibnu Katsir dalam kitab al-Bidayah wan-Nihaayah, beliau membicarakan tentang perjuangan mujahidin mukminin. Beliau berkata, “Mereka berperang dengan perang besar-besaran hingga para wanita turut berperang di belakang mereka dengan gagah berani.”
Dalam bagian lain beliau berkata, “Para wanita menghadang mujahidin yang lari dari berkecamuknya perang dan memukul mereka dengan kayu dan melempari mereka dengan batu. Adapun Khaulah binti Tsa’labah ra berkata:
Wahai kalian yang lari dari wanita yang bertakwa
Tidak akan kalian lihat tawanan
Tidak pula perlindungan
Tidak juga keridhaan
Beliau juga berkata dalam bagian yang lain, “Pada hari itu kaum muslimah berperang dan berhasil membunuh banyak tentara Romawi, akan tetapi mereka memukul kaum muslimin yang lari dari kancah peperangan hingga mereka kembali untuk berperang.”
Dalam perang yang besar ini, Asma’ binti Yazid menyertai pasukan kaum muslimin bersama wanita-wanita mukminat yang lain berada di belakang para mujahidin mencurahkan segala kemampuan dengan membantu mempersiapkan senjata, memberikan minum bagi para mujahidin dan mengobati yang terluka di antara mereka serta memompa semangat juang kaum muslimin.
Akan tetapi, manakala berkecamuknya perang, manakala suasana panas membara dan mata menjadi merah, ketika itu Asma’ ra lupa bahwa dirinya adalah seorang wanita. Beliau hanya ingat bahwa dirinya adalah muslimah, mukminah, dan mampu berjihad dengan mencurahkan segenap kemampuan dan kesungguhannya. Hanya beliau tidak mendapatkan apa-apa yang di depannya melainkan sebatang tiang kemah, maka beliau membawanya kemudian berbaur dengan barisan kaum muslimin. Beliau memukul musuh-musuh Allah ke kanan dan ke kiri hingga dapat membunuh sembilan orang dari tentara Romawi, sebagaimana yang dikisahkan oleh Imam Ibnu Hajar tentang beliau, “Dialah Asma’ binti Yazid bin Sakan yang menyertai perang Yarmuk, ketika itu beliau membunuh sembilan tentara Romawi dengan tiang kemah, kemudian beliau masih hidup selama beberapa tahun setelah peperangan tersebut.”
Asma’ keluar dari peperangan dengan membawa luka di punggungnya dan Allah menghendaki beliau masih hidup setelah itu selama 17 tahun karena beliau wafat pada akhir tahun 30 Hijriyah setelah menyuguhkan kebaikan bagi umat.
Semoga Allah merahmati Asma’ binti Yazid bin Sakan dan memuliakan dengan hadis yang telah beliau riwayatkan bagi kita, dan dengan pengorbanan yang telah beliau usahakan, dan telah beramal dengan sesuatu yang dapat dijadikan pelajaran bagi yang lain dalam hal mencurahkan segala kemampuan dan usaha demi memperjuangkan al-haq dan mengibarkan bendera hingga dien ini hanya bagi Allah.
Sumber: Nisaa’ Haular Rasuuli, Mahmud Mahdi al-Istanbuli & Musthafa Abu an-Nashr asy-Syalabi
Al-IslamPusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia

Readmore »» Asma' binti Yazid bin Sakan (Juru Bicara Wanita)

Asma' binti Umais (wanita yang hijrah dua kali)

Beliau adalah Asma’ binti Umais bin Ma’d bin Tamim bin al-Haris bin Ka’ab bin Malik bin Quhafah, dipanggil dengan nama Ummu Abdillah. Beliau termasuk salah satu di antara empat akhwat mukminah yang telah mendapat pengesahan dari Rasulullah saw dengan sabdanya, “Ada empat akhwat mukminah yaitu Maimunah, Ummu Fadhl, Salma dan Asma’.”

Beliau ra masuk Islam sebelum kaum muslimin memasuki rumah bin Abi al-Arqam. Beliau adalah istri pahlawan di antara sahabat, yaitu Ja’far bin Abi Thalib ra, sahabat yang memiliki dua sayap sebagaimana gelar yang Rasulullah saw berikan terhadap beliau. Manakala ingin mengucapkan salam kepada Abdullah bin Ja’far beliau Rasulullah saw , “Selamat atas kamu wahai putra dari seorang yang memiliki dua sayap (dzul janahain).”

Asma’ ra termasuk wanita muhajirah pertama, beliau turut berhijrah bersama suaminya, yaitu Ja’far bin Abi Thalib menuju Habsyah. Beliau rasakan pahit getirnya hidup di pengasingan. Adapun suaminya adalah juru bicara kaum muslimin dalam menghadapi raja Habsyah an-Najasi.

Di bumi pengasingan tersebut beliau melahirkan tiga putra: Abdullah, Muhammad, dan ‘Aunan. Abdullah sangat mirip dengan ayahnya, sedangkan ayahnya sangat mirip dengan Rasulullah saw, sehingga hal itu menggemberikan hati beliau dan menumbuhkan perasaan rindu untuk melihat Rasulullah saw. Rasulullah saw bersabda kepada Ja’far, “Engkau menyerupai bentukku dan juga akhlakku.”

Ketika Rasulullah saw memerintahkan bagi para muhajirin untuk bertolak menuju Madinah, hampir-hampir Asma’ terbang karena girangnya. Inilah mimpi yang menjadi kenyataan dan jadilah kaum muslimin mendapatkan negeri mereka dan kelak mereka akan menjadi tentara-tentara Islam yang akan menyebarkan Islam dan meninggikan kalimat Allah.

Begitulah, Asma’ ra keluar dengan berkendaraan tatkala hijrah untuk kali yang kedua dari negeri Habsyah menuju negeri Madinah. Tatkala rombongan muhajirin tiba di Madinah, ketika itu pula mereka mendengar berita bahwa kaum muslimin baru menyelesaikan peperangan dan membawa kemenangan, takbir pun menggema di segala penjuru karena bergembira dengan kemenangan pasukan kaum muslimin dan kedatangan muhajirin dari Habsyah.

Ja’far bin Ali Abi Thalib datang disambut Rasulullah saw dengan gembira kemudian beliau cium dahinya seraya bersabda, “Demi Allah, aku tidak tahu mana yang lebih menggembirakan, kemenangan Khaibar atau kedatangan Ja’far.”

Asma’ masuk ke dalam rumah Hafshah binti Umar tatkala Nabi saw menikahinya. Tatkala itu Umar masuk ke rumah Hafshah sedangkan Asma’ berada di sisinya, lalu beliau bertanya kepada Hafshah, “Siapakah wanita ini?” Hafshah menjawab, “Dia adalah Asma’ binti Umais?” Umar bertanya, “Inikah wanita yang datang dari negeri Habsyah di seberang lautan?” Asma’ menjawab, “Benar.” Umar berkata, “Kami telah mendahului kalian untuk berhijrah bersama Rasul, maka kami lebih berhak terhadap diri Rasulullah daripada kalian.” Mendengar hal itu Asma’ marah dan tak kuasa menahan gejolak jiwanya sehingga beliau berkata, “Tidak demi Allah, kalian bersama Rasulullah saw sedangkan beliau memeberi makan bagi yang kelaparan di antara kalian dan mengajarkan bagi yang masih bodoh di antara kalian, adapun kami di suatu negeri atau di bumi yang jauh dan tidak disukai, yakni Habasyah, dan semua itu adalah demi ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya.” Kemudian, Asma’ ra diam sejenak, selanjutnya berkata, “Demi Allah aku tidak makan dan minum sehingga aku laporkan hal ini kepada Rasulullah saw, kami diganggu dan ditakut-takuti, hal itu juga aku akan sampaikan kepada Rasulullah saw, aku akan tanyakan kepada beliau, demi Allah aku tidak berdusta, tidak akan menyimpang dan tidak akan menambah-nambah.”

Tatkala Rasulullah saw datang, maka Asma’ berkata kepadanya, “Wahai Nabi saw, sesungguhnya Umar berkata begini dan begitu.” Rasulullah saw bertanya kepada Umar, “Apa yang telah engkau katakan kepadanya,” Umar menjawab, “Aku katakan begini dan begitu.” Rasulullah saw bersabda kepada Asma’, “Tiada seorang pun yang lebih berhak atas diriku melebihi kalian, adapun dia (Umar) dan para sahabatnya berhijrah satu kali, akan tetapi kalian ahlus safinah (yang menumpang kapal) telah berhijrah dua kali.”

Akhirnya, berbunga-bungalah hati Asma’ karena pernyataan Rasulullah tersebut, lalu beliau sebarkan berita tersebut kepada khalayak, hingga orang-orang mengerumuni beliau untuk meminta penjelasan tentang kabar tersebut. Asma’ berkata, “Sungguh aku melihat Abu Musa dan orang-orang yang telah berlayar (berhijrah bersama Asma’ dan suaminya) mendatangiku dan menanyakan kepadaku tentang hadis tersebut, maka tiada sesuatu dari dunia yang menggembirakan dan lebih besar artinya bagi mereka dari apa yang disabdakan Nabi saw kepada mereka.”

Manakala pasukan kaum muslimin menuju Syam, di antara ketiga panglimanya terdapat suami dari Asma’, yakni Ja’far bin Abi Thalib ra. Di sana, di medan perang Allah memilih beliau di antara sekian pasukan untuk mendapatkan gelar syahid di jalan Allah.

Rasulullah saw mendatangi rumah Asma’ dan menanyakan ketiga anaknya, mereka pun berkeliling di sekitar Rasulullah, kemudian Rasulullah mencium mereka dan mengusap kepala mereka hingga kedua matanya melelehkan air mata. Berkatalah Asma’ dengan hati yang berdebar-debar menyiratkan kesedihan, “Demi ayah dan ibuku, apa yang membuat anda menangis? Apakah telah sampai suatu kabar kepada anda tentang Ja’far dan sahabat-sahabatnya?” Beliau menjawab, “Benar, dia gugur hari ini.”

Asma’ tidak kuasa menahan tangisnya, kemudian Rasulullah menghiburnya dan berkata kepadanya, “Berkabunglah selama tiga hari, kemudian berbuatlah sesukamu setelah itu.” Selanjutnya, Rasulullah saw bersabda kepada keluarga beliau, “Buatkanlah makanan untuk keluarga Ja’far, karena telah datang peristiwa yang menyibukkan mereka.”

Tiada yang dilakukan oleh wanita mukminah ini melainkan mengeringkan air mata, bersabar, dan berteguh hati dengan mengharap pahala yang agung dari Allah. Bahkan, suatu malam dia bercita-cita agar syahid sebagaimana suaminya. Terlebih-lebih tatkala beliau mendengar dari salah seorang laki-laki dari Bani Murrah bin Auf berkata, “Tatkala perang tersebut, demi Allah seolah-olah aku melihat Ja’far ketika melompat dari kudanya yang berwarna kekuning-kuningan kemudian beliau berperang hingga terbunuh. Beliau sebelum terbunuh berkata:

Wahai jannah yang aku dambakan mendiaminya

Harum semerbak baunya, sejuk segar air minumnya

Tantara Romawi menghampiri liang kuburnya

Terhalang jauh dari sanak keluarganya

Kewajibankulah menghantamnya kala menjumpainya

Kemudian, Ja’far memegang bendera dengan tangan kanannya, tetapi dipotonglah tangan kanan beliau, kemudian beliau bawa dengan tangan kirinya, akan tetapi dipotonglah tangan kirinya, selanjutnya beliau kempit dengan di dadanya dengah kedua lengannya hingga terbunuh.

Asma’ mendapatkan makna dari sabda Rasulullah saw yang pernah berkata kepada anaknya, “Assalamualaikum wahai putra yang memiliki dua sayap.”

Rupanya Allah menggantikan kedua tangan Ja’far yang terputus dengan dua sayap yang dengan keduanya beliau terbang di jannah sekehendaknya. Seorang ibu yang salihah tersebut tekun menarbiyah ketiga anaknya dan membimbing mereka agar mengikuti jejak yang telah di tempuh oleh ayahnya yang telah syahid, serta membiasakan mereka dengan tabiat iman.

Belum lama berselang dari waktu tersebut Abu Bakar ra datang untuk meminang Asma’ binti Umais setelah wafatnya istri beliau, Ummu Rumaan ra. Tiada alasan bagi Asma’ untuk menolak pinangan orang seutama Abu Bakar ra, begitulah akhirnya Asma’ berpindah ke rumah Abu Bakar ra untuk menambah cahaya kebenaran dan cahaya iman dan untuk mencurahkan cinta dan kesetiaan di rumah tangganya.

Setelah sekian lama beliau melangsungkan pernikahan yang penuh barakah, Allah mengaruniakan kepada mereka seorang anak laki-laki. Mereka ingin melaksanakan haji wada, maka Abu Bakar menyuruh istrinya untuk mandi dan menyertai haji setelah Rasulullah saw memintanya. Kemudiana Asma’ menyaksikan peristiwa demi peristiwa yang besar, namun peristiwa yang paling besar adalah wafatnya pemimpin anak Adam dan terputusnya wahyu dari langit. Kemudian beliau juga menyaksikan suaminya, yakni Abu Bakar memegang tampuk kekhalifahan bagi kaum muslimin, sehingga suaminya merampungkan problematika yang sangat rumit, seperti memerangi orang-orang yang murtad, memerangi orang-orang yang tidak mau berzakat, serta mengirimkan pasukan Usamah dan sikapnya yang teguh laksana gunug tidak ragu-ragu dan tidak bimbang, demikian pula beliau menyaksikan bagaimana pertolongan Allah diberikan kepada kaum muslimin dengan sikap iman yang teguh tersebut.

Asma’ senantiasa menjaga agar suaminya senantiasa merasa senang dan beliau hidup bersama suaminya dengan perasaan yang tulus turut memikul beban bersama suaminya dalam urusan umat yang besar.

Akan tetapi, hal itu tidak berlangsung lama sebab Khalifah ash-Shidiq sakit dan semakin bertambah parah hingga keringat membasahi pada bagian atas kedua pipi beliau. Ash-Shidiq dengan ketajaman perasaan seorang mukmin yang shadiq merasakan dekatnya ajal beliau sehingga beliau bersegera untuk berwasiat. Adapun di antara wasiat beliau adalah agar beliau dimandikan oeh istrinya Asma’ binti Umais ra, selain itu beliau berpesan kepada istrinya agar berbuka puasa dengan berkata, “Berbukalah karena hal itu membuat dirimua lebih kuat.”

Asma’ merasa telah dekatnya wafat beliau sehingga beliau membaca istirja dan memohon amun sedangkan kedua mata beliau tidak berpaling sedikit pun dari memandang suaminya yang ruhnya kembali dengan selamat kepada Allah. Hal itu membuat Asma’ meneteskan air mata dan bersedih hati, akan tetapi sedikit pun beliau tidak mengatakan sesuatu melainkan yang diridhai Allah Tabaraka wa Ta’ala, beliau tetap bersabar dab berteguh hati.

Selanjutnya beliau menunaikan perkara penting yang diminta oleh suaminya yang telah tiada, karena beliau adalah orang yang paling bisa dipercaya oleh suaminya. Mulailah beliau memandikan jenazah suaminya dan beliau lupa terhadap wasiat yang kedua. Beliau bertanya kepada para muhajirin yang hadir, “Sesungguhnya aku sedang berpuasa, namun hari ini adalah hari yang sangat dingin, apakah boleh bagiku untuk mandi?” Mereka menjawab, “Tidak.” (Diriwayatkan oleh Imam Malik dalam al-Muwatha’ I/222 dan Ibnu Sa’ad dalam ath-Thabaqat VIII/284).

Di akhir siang, seusai dimakamkannya as-Shiddiq, tiba-tiba Asma’ binti Umais ingat wasiat suaminya yang kedua, yakni agar beliau berbuka (tidak melanjutkan puasa). Lantas apa yang dilakukannya sekarang? Sedangkan waktu hanya tinggal sebentar lagi. Menunggu matahari tenggelam dan orang yang shoum diperbolehkan untuk berbuka? apakah dia akan setia dengan wasiat suaminya ataukah menunggu sejenak saja untuk melanjutkan puasanya?

Kesetiaan terhadap suaminya telah menghalangi beliau untuk mengkhianati wasiat suaminya yang telah pergi, maka beliau mengambil air dan meminum kemudian berkata, “Demi Allah aku tidak akan melanggar janjinya hari ini.”

Setelah kepergian suaminya, Asma’ ra melazimi rumahnya dengan mendidik putra-putranya, baik dari Ja’far maupun dari Abu Bakar. Beliau menyerahkan urusan anak-anaknya kepada Allah dengan mohon kepada-Nya untuk memperbaiki anak-anaknya dan Allah pun memperbaiki mereka hingga mereka menjadi imam bagi orang-orang yang bertakwa. Inilah puncak dari harapan beliau di dunia dan beliau tidak mengetahui takdir yang akan menimpa beliau yang tersembunyi di balik ilmu Allah.

Dialah Ali bin Abu Thalib ra saudara dari Ja’far yang memiliki dua sayap mendatangi Asma’ untuk meminangnya sebagai wujud kesetiaan Ali kepada saudaranya yang dia cintai, yaitu Ja’far, begitu pula Abu Bakar as-shiddiq ra.

Setelah berkali-kali berpikir dan mempertimbangkannya dengan matang, beliau memutuskan untuk menerima lamaran dari Ali bin Abi Thalib sehingga kesempatan tersebut dapat beliau gunakan untuk membantu membina putra-putra saudaranya Ja’far. Maka, berpindahlah Asma’ ke rumah tangga Ali ra setelah wafatnya Fatimah az-Zahraa’ ra dan ternyata beliau adalah sebaik-baik wanita salihah, dan beliau juga memiliki suami yang paling baik dalam bergaul. Asma’ senantiasa memiliki kedudukan yang tinggi di mata Ali hingga beliau sering mengulang-ulang di setiap tempat, “Di antara wanita yang memiliki syahwat telah menipu kalian, maka aku tidak menaruh kepercayaan di antara wanita melebihi Asma’ binti Umais.”

Allah memberi kemurahan kepada Ali dengan mengaruniai anak dari Asma’ yang bernama Yahya dan Aunan, berlalulah hari demi hari dan Ali menyaksikan pemandangan yang asing, yakni putra saudaranya Ja’far sedang berbantahan dengan Muhammad bin Abu Bakar dan masing-masing membanggakan diri dari yang lain dengan mengatakan, “Aku lebih baik daripada kamu dan ayahku lebih baik daripada ayahmu.” Ali tidak mengetahui apa yang mereka berdua katakan. Dan bagaimana pula memutuskan antara keduanya karena beliau merasa simpati dengan keduanya. Maka, tiada yang dapat beliau lakukan selain memanggil ibu mereka, yakni Asma’ ra, kemudian berkata, “Putuskanlah antara keduanya!” Dengan pikirannya yang tajam dan hikmah yang mendalam beliau berkata, “Aku tidak melihat seorang pemuda di Arab yang lebih baik daripada Ja’far dan aku tidak pernah melihat orang tua yang lebih baik daripada Abu Bakar.” Inilah yang menyelesaikan urusan mereka berdua dan kembalilah kedua bocah tersebut saling merangkul dan bermain bersama. Namun, Ali merasa takjub dengan bagusnya keputusan yang diambil oleh Asma’ terhadap anak-anaknya, dengan menatap wajah istrinya beliau berkata, “Engaku tidak menyisakan bagi kami sedikit pun wahai Asma’?” Dengan kecerdasan yang tinggi dan keberanian yang luar biasa ditambah lagi adab yang mulia beliau berkata:”Di antara ketiga orang pilihan, kebaikan Anda masih di bawah kebaikan mereka.”

Ali ra tidak merasa asing dengan jawaban istrinya yang cerdas, maka beliau berkata dengan ksatria dan akhlak yang utama: “Sendaianya engkau tidak menjawab dengan jawaban tersebut, niscaya aku cela dirimu.”

Akhirnya, kaum muslimin memilih Ali ra sebagai khalifah setelah Utsman bin Affan, maka kedua kalinya Asma’ menjadi istri seorang khalifah, yang kali ini adalah khalifah rasyidin yang keempat, semoga Allah meridhai mereka semuanya.

Asma’ turut serta memikul tanggung jawab sebagai istri khalifah bagi kaum muslimin dalam menghadapi peristiwa-peristiwa besar, begitu pula dengan Abdullah bin Ja’far dan Muhammad bin Abu Bakar ra berdiri di samping ayahnya dalam rangka membela kebenaran. Kemudian, setelah berselang beberapa lama, wafatlah putra beliau Muhammad bin Abu Bakar ra dan musibah tersebut membawa pengaruh yang besar pada diri beliau, akan tetapi Asma’ seorang wanita mukminah tidak mungkin menyelisihi ajaran Islam dengan berteriak-teriak dan meratap dan hal-hal lain yang dilarang dalam Islam. Tiada yang beliau lakukan selain berusaha bersabar dan membawa pertolongan dengan sabar dan salat terhadap penderitaan yang beliau alami. Asma’ selalu memendam kesedihannya hingga payudaranya mengeluarkan darah.

Belum lagi tahun berganti hingga sakit beliau bertambah parah dan menjadi lemah jasmaninya, dengan cepat kemudian beliau meninggal dunia. Yang tinggal hanyalah lambang kehormatan yang tercatat dalam sejarah setelah beliau mengukir sebaik-baik contoh dalam hal kebijaksanaan, kesabaran, dan kekuatan.

Sumber: Nisaa’ Haular Rasuuli, Mahmud Mahdi al-Istanbuli dan Musthafa Abu an-Nashr asy-Syalabi

Al-Islam – Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia

www.alislamu.com
Readmore »» Asma' binti Umais (wanita yang hijrah dua kali)

Usman bin Affan

Utsman bin Affan (sekitar 574 – 656) adalah sahabat Nabi Muhammad SAW yang merupakan Khulafaur Rasyidin yang ke-3. Nama lengkap beliau adalah Utsman bin affan Al-Amawi Al-Quarisyi, berasal dari Bani Umayyah. Lahir pada tahun keenam tahun Gajah. Kira-kira lima tahun lebih muda dari Rasullulah SAW.

Nama panggilannya Abu Abdullah dan gelarnya Dzunnurrain (yang punya dua cahaya). Sebab digelari Dzunnuraian karena Rasulullah menikahkan dua putrinya untuk Utsman; Roqqoyah dan Ummu Kultsum. Ketika Ummu Kultsum wafat, Rasulullah berkata; “Sekiranya kami punya anak perempuan yang ketiga, niscaya aku nikahkan denganmu.” Dari pernikahannya dengan Roqoyyah lahirlah anak laki-laki. Tapi tidak sampai besar anaknya meninggal ketika berumur 6 tahun pada tahun 4 Hijriah.

Menikahi 8 wanita, empat diantaranya meninggal yaitu Fakhosyah, Ummul Banin, Ramlah dan Nailah. Dari perkawinannya lahirlah 9 anak laki-laki; Abdullah al-Akbar, Abdullah al-Ashgar, Amru, Umar, Kholid, al-Walid, Sa’id dan Abdul Muluk. Dan 8 anak perempuan.

Nama ibu beliau adalah Arwa binti Kuriz bin Rabiah. Beliau masuk Islam atas ajakan Abu Bakar, yaitu sesudah Islamnya Ali bin Abi Thalib dan Zaid bin Haristah. Beliau adalah salah satu sahabat besar dan utama Nabi Muhammad SAW, serta termasuk pula golongan as-Sabiqun al-Awwalin, yaitu orang-orang yang terdahulu Islam dan beriman.

Utsman adalah seorang yang saudagar yang kaya tetapi dermawan. Beliau adalah seorang pedagang kain yang kaya raya, kekayaan ini beliau belanjakan guna mendapatkan keridhaan Allah, yaitu untuk pembangunan umat dan ketinggian Islam. Beliau memiliki kekayaan ternak lebih banyak dari pada orang arab lainya.

Ketika kaum kafir Quarisy melakukan penyiksaan terhadap umat islam, maka Utsman bin Affan diperintahkan untuk berhijrah ke Habsyah (Abyssinia, Ethiopia). Ikut juga bersama beliau sahabat Abu Khudzaifah, Zubir bin Awwam, Abdurahman bin Auf dan lain-lain. Setelah itu datang pula perintah Nabi SAW supaya beliau hijrah ke Madinah. Maka dengan tidak berfikir panjang lagi beliau tinggalkan harta kekayaan, usaha dagang dan rumah tangga guna memenuhi panggilan Allah dan Rasul-Nya. Beliau Hijrah bersama-sama dengan kaum Muhajirin lainya.

Pada peristiwa Hudaibiyah, Utsman dikirim oleh Rasullah untuk menemui Abu Sofyan di Mekkah. Utsman diperintahkan Nabi untuk menegaskan bahwa rombongan dari Madinah hanya akan beribadah di Ka’bah, lalu segera kembali ke Madinah, bukan untuk memerangi penduduk Mekkah.

Suasana sempat tegang ketika Utsman tak kenjung kembali. Kaum muslimin sampai membuat ikrar Rizwan – bersiap untuk mati bersama untuk menyelamatkan Utsman. Namun pertumpahan darah akhirnya tidak terjadi. Abu Sofyan lalu mengutus Suhail bin Amir untuk berunding dengan Nabi Muhammad SAW. Hasil perundingan dikenal dengan nama Perjanjian Hudaibiyah.

Semasa Nabi SAW masih hidup, Utsman pernah dipercaya oleh Nabi untuk menjadi walikota Madinah, semasa dua kali masa jabatan. Pertama pada perang Dzatir Riqa dan yang kedua kalinya, saat Nabi SAW sedang melancarkan perang Ghatfahan.

Utsman bin Affan adalah seorang ahli ekonomi yang terkenal, tetapi jiwa sosial beliau tinggi. Beliau tidak segan-segan mengeluarkan kekayaanya untuk kepentingan Agama dan Masyarakat umum.

Sebagai Contoh :

1. Utsman bin Affan membeli sumur yang jernih airnya dari seorang Yahudi seharga 200.000 dirham yang kira-kira sama dengan dua setengah kg emas pada waktu itu. Sumur itu beliau wakafkan untuk kepentingan rakyat umum.
2. Memperluas Masjid Madinah dan membeli tanah disekitarnya.
3. Beliau mendermakan 1000 ekor unta dan 70 ekor kuda, ditambah 1000 dirham sumbangan pribadi untuk perang Tabuk, nilainya sama dengan sepertiga biaya ekspedisi tersebut.
4. Pada masa pemerintahan Abu Bakar,Utsman juga pernah memberikan gandum yang diangkut dengan 1000 unta untuk membantu kaum miskin yang menderita di musim kering.

Masa Kekhalifahan

Utsman bin Affan diangkat menjadi khalifah atas dasar musyawarah dan keputusan sidang Panitia enam, yang anggotanya dipilih oleh khalifah Umar bin khatab sebelum beliau wafat. Keenam anggota panitia itu ialah Ali bin Abi Thalib, Utsman bin Affan, Abdurahman bin Auf, Sa’ad bin Abi Waqas, Zubair bin Awwam dan Thalhah bin Ubaidillah.

Tiga hari setelah Umar bin khatab wafat, bersidanglah panitia enam ini. Abdurrahman bin Auff memulai pembicaraan dengan mengatakan siapa diantara mereka yang bersedia mengundurkan diri. Ia lalu menyatakan dirinya mundur dari pencalonan. Tiga orang lainnya menyusul. Tinggallah Utsman dan Ali. Abdurrahman ditunjuk menjadi penentu. Ia lalu menemui banyak orang meminta pendapat mereka. Namun pendapat masyarakat pun terbelah.

Konon, sebagian besar warga memang cenderung memilih Utsman. Sidangpun memutuskan Ustman sebagai khalifah. Ali sempat protes. Abdurrahman adalah ipar Ustman. Mereka sama-sama keluarga Umayah. Sedangkan Ali, sebagaimana Muhammad, adalah keluarga Hasyim. Sejak lama kedua keluarga itu bersaing. Namun Abdurrahman meyakinkan Ali bahwa keputusannya adalah murni dari nurani. Ali kemudian menerima keputusan itu.

Maka Utsman bin Affan menjadi khalifah ketiga dan yang tertua. Pada saat diangkat, ia telah berusia 70 tahun. Peristiwa ini terjadi pada bulan Muharram tahun 24 H. Pengumuman dilakukan setelah selesai Shalat dimasjid Madinah.

Masa kekhalifannya merupakan masa yang paling makmur dan sejahtera. Konon ceritanya sampai rakyatnya haji berkali-kali. Bahkan seorang budak dijual sesuai berdasarkan berat timbangannya.

Beliau adalah khalifah kali pertama yang melakukan perluasan masjid al-Haram (Mekkah) dan masjid Nabawi (Madinah) karena semakin ramai umat Islam yang menjalankan rukun Islam kelima (haji). Beliau mencetuskan ide polisi keamanan bagi rakyatnya, membuat bangunan khusus untuk mahkamah dan mengadili perkara. Hal ini belum pernah dilakukan oleh khalifah sebelumnya. Abu Bakar dan Umar bin Khotob biasanya mengadili suatu perkara di masjid.

Pada masanya, khutbah Idul fitri dan adha didahulukan sebelum sholat. Begitu juga adzhan pertama pada sholat Jum’at. Beliau memerintahkan umat Islam pada waktu itu untuk menghidupkan kembali tanah-tanah yang kosong untuk kepentingan pertanian.

Di masanya, kekuatan Islam melebarkan ekspansi. Untuk pertama kalinya, Islam mempunnyai armada laut yang tangguh. Muawiyah bin Abu Sofyan yang menguasai wilayah Syria, Palestina dan Libanon membangun armada itu. Sekitar 1.700 kapal dipakai untuk mengembangkan wilayah ke pulau-pulau di Laut Tengah. Siprus, Pulau Rodhes digempur. Konstantinopelpun sempat dikepung.

Prestasi yang diperoleh selama beliau menjadi Khalifah antara lain :

1. Menaklukan Syiria, kemudian mengakat Mu’awiyah sebagai Gubernurnya.
2. Menaklukan Afrika Utara, dan mengakat Amr bin Ash sebagai Gubernur disana.
3. Menaklukan daerah Arjan dan Persia.
4. Menaklukan Khurasan dan Nashabur di Iran.
5. Memperluas Masjid Nabawi, Madinah dan Masjidil Haram, Mekkah.
6. Membakukan dan meresmikan mushaf yang disebut Mushaf Utsamani, yaitu kitab suci Al-qur’an yang dipakai oleh seluruh umat islam seluruh dunia sekarang ini. Khalifah Ustman membuat lima salinan dari Alquran ini dan menyebarkannya ke berbagai wilayah Islam.
7. Setiap hari jum’at beliau memerdekakan seorang budak (bila ada)

Sebab-sebab Terjadinya Kekacauan dalam Pemerintahan Utsman

Pada mulanya pemerintahan Khalifah Utsman berjalan lancar. Hanya saja seorang Gubernur Kufah, yang bernama Mughirah bin Syu’bah dipecat oleh Khalifah Utsman dan diganti oleh Sa’ad bin Abi Waqqas, atas dasar wasiat khalifah Umar bin Khatab.

Kemudian beliau memecat pula sebagian pejabat tinggi dan pembesar yang kurang baik, untuk mempermudah pengaturan, lowongan kursi para pejabat dan pembesar itu diisi dan diganti dengan famili-famili beliau yang kredibel (mempunyai kemampuan) dalam bidang tersebut.

Tindakan beliau yang terkesan nepotisme ini, mengundang protes dari orang-orang yang dipecat, maka datanglah gerombolan yang dipimpim oleh Abdulah bin Saba’ yang menuntut agar pejabat-pejabat dan para pembesar yang diangkat oleh Khalifah Utsman ini dipecat pula. Usulan-usulan Abdullah bin Saba’ ini ditolak oleh khalifah Utsman. Pada masa kekhalifan Utsman bin Affan-lah aliran Syiah lahir dan Abdullah Bin Saba’ disebut sebagai pencetus aliran Syi’ah tersebut.

Karena merasa sakit hati, Abdullah bin Saba’ kemudian membuat propoganda yang hebat dalam bentuk semboyan anti Bani Umayah, termasuk Utsman bin Affan. Seterusnya penduduk setempat banyak yang termakan hasutan Abdullah bin Saba’. Sebagai akibatnya, datanglah sejumlah besar (ribuan) penduduk daerah ke madinah yang menuntut kepada Khalifah, tuntutan dari banyak daerah ini tidak dikabulkan oleh khalifah, kecuali tuntutan dari Mesir, yaitu agar Utsman memecat Gubernur Mesir, Abdullah bin Abi Sarah, dan menggantinya dengan Muhammad bin Abi Bakar.

Karena tuntutan orang mesir itu telah dikabulkan oleh khalifah, maka mereka kembali ke mesir, tetapi sebelum mereka kembali ke mesir, mereka bertemu dengan seseorang yang ternyata diketahui membawa surat yang mengatasnamakan Utsman bin Affan. Isinya adalah perintah agar Gubernur Mesir yang lama yaitu Abdulah bin Abi sarah membunuh Gubernur Muhammad Abi Bakar (Gubernur baru) Karena itu, mereka kembali lagi ke madinah untuk meminta tekad akan membunuh Khalifah karena merasa dipermainkan.

Setelah surat diperiksa, terungkap bahwa yang membuat surat itu adalah Marwan bin Hakam. Tetapi mereka melakukan pengepungan terhadap khalifah dan menuntut dua hal :

1. Supaya Marwan bin Hakam di qishas (hukuman bunuh karena membunuh orang).
2. Supaya Khalifah Utsman meletakan jabatan sebagai Khalifah.

Kedua tuntutan yang pertama, karena Marwan baru berencana membunuh dan belum benar-benar membunuh. Sedangkan tuntutan kedua, beliau berpegang pada pesan Rasullulah SAW; “Bahwasanya engkau Utsman akan mengenakan baju kebesaran. Apabila engkau telah mengenakan baju itu, janganlah engkau lepaskan”

Setelah mengetahui bahwa khalifah Utsman tidak mau mengabulkan tuntutan mereka, maka mereka lanjutkan pengepungan atas beliau sampai empat puluh hari. Situasi dari hari kehari semakin memburuk. Rumah beliau dijaga ketat oleh sahabat-sahabat beliau, Ali bin Thalib, Zubair bin Awwam, Muhammad bin Thalhah, Hasan dan Husein bin Ali bin Abu Thalib. Karena kelembutan dan kasih sayangnya, beliau menanggapi pengepung-pengepung itu dengan sabar dan tutur kata yang santun.

Hingga suatu hari, tanpa diketahui oleh pengawal-pengawal rumah beliau, masuklah kepala gerombolan yaitu Muhammad bin Abu Bakar (Gubernur Mesir yang Baru) dan membunuh Utsman bin Affan yang sedang membaca Al-Qur’an. Dalam riwayat lain, disebutkan yang membunuh adalah Aswadan bin Hamrab dari Tujib, Mesir. Riwayat lain menyebutkan pembunuhnya adalah Al Ghafiki dan Sudan bin Hamran.

Beliau wafat pada bulan haji tahun 35 H. dalam usia 82 tahun setelah menjabat sebagai Khalifah selama 12 tahun. Beliau dimakamkan di kuburan Baqi di Madinah.

Wallahu A’lam.

Pustaka :

http://dear.to/abusalma : Maktabah Abu Salma al-Atsari; Pokok-pokok Kesesatan Syi’ah

http://ebook-paktani.tk : Kisah Khulafaur Rasyidin

http://masjidalkhoir.wordpress.com/2008/01/18/kisah-kisah-sahabat-nabi/ : Utsman bin Affan
Readmore »» Usman bin Affan

Umar bin Khaththab

Umar bin Khattab (581 - November 644) (bahasa Arab: عمر بن الخطاب) yang memiliki nama lengkap Umar bin Khattab bin Nafiel bin abdul Uzza, terlahir di Mekkah, dari Bani Adi, salah satu rumpun suku Quraisy. Orangtuanya bernama Khaththab bin Nufail Al Mahzumi Al Quraisyi dan Hantamah binti Hasyim. Umar memiliki julukan yang diberikan oleh Muhammad yaitu Al-Faruq yang berarti orang yang bisa memisahkan antara yang haq dan bathil.

Keluarga Umar tergolong keluarga kelas menengah, ia bisa membaca dan menulis yang pada masa itu merupakan sesuatu yang jarang. Umar juga dikenal karena fisiknya yang kuat dimana ia menjadi juara gulat di Mekkah.

Sebelum Islam, sebagaimana tradisi kaum jahiliyah mekkah saat itu, Umar mengubur putrinya hidup-hidup. Sebagaimana yang ia katakan sendiri, "Aku menangis ketika menggali kubur untuk putriku. Dia maju dan kemudian menyisir janggutku".

Mabuk-mabukan juga merupakan hal yang umum dikalangan kaum Quraish. Beberapa catatan mengatakan bahwa pada masa pra-Islam, Umar suka meminum anggur. Setelah menjadi muslim, ia tidak menyentuh alkohol sama sekali. Tetapi, setelah masuk Islam, belum diturunkan larangan meminum khamar (yang memabukkan) secara tegas. Sehingga ada kisah, Pada malam hari, Umar bermabuk-mabukkan sampai Subuh. Ketika waktu Subuh tiba, beliau pergi ke masjid dan ditunjuk sebagai imam. Ketika membaca surat Al-Kafirun, karena ayat 3 dan 5 bunyinya sama, setelah membaca ayat ke 5, beliau ulang lagi ke ayat 4 terus menerus. Akhirnya, Allah menurunkan larangan bermabuk-mabukkan yang tegas.

Masuk Islamnya Umar Ra.

Ketika ajakan memeluk Islam dideklarasikan oleh Nabi Muhammad SAW, Umar mengambil posisi untuk membela agama tradisional kaum Quraish (menyembah berhala). Pada saat itu Umar adalah salah seorang yang sangat keras dalam melawan pesan Islam dan sering melakukan penyiksaan terhadap pemeluknya.

Dikatakan bahwa pada suatu saat, Umar berketetapan untuk membunuh Muhammad SAW. Saat mencarinya, ia berpapasan dengan seorang muslim (Nu'aim bin Abdullah) yang kemudian memberi tahu bahwa saudara perempuannya juga telah memeluk Islam. Umar terkejut atas pemberitahuan itu dan pulang ke rumahnya.

Di rumah Umar menjumpai bahwa saudaranya sedang membaca ayat-ayat Al Qur'an (surat Thoha), ia menjadi marah akan hal tersebut dan memukul saudaranya. Ketika melihat saudaranya berdarah oleh pukulannya ia menjadi iba, dan kemudian meminta agar bacaan tersebut dapat ia lihat. Ia kemudian menjadi sangat terguncang oleh isi Al Qur'an tersebut dan kemudian langsung memeluk Islam pada hari itu juga.

Kehidupan di Madinah

Umar adalah salah seorang yang ikut pada peristiwa hijrah ke Yatsrib (Madinah) pada tahun 622 Masehi. Ia ikut terlibat pada perang Badar, Uhud, Khaybar serta penyerangan ke Syria. Ia adalah salah seorang sahabat dekat Nabi Muhammad SAW

Pada tahun 625, putrinya (Hafsah) menikah dengan Nabi Muhammad.

Masa kekhalifahan Abu Bakar

Pada masa Abu Bakar menjabat sebagai khalifah, Umar merupakan salah satu penasehat kepalanya. Kemudian setelah meninggalnya Abu Bakar pada tahun 634, Umar ditunjuk menggantikannya.

Menjadi khalifah

Selama pemerintahan Umar, kekuasaan Islam tumbuh dengan sangat pesat. Islam mengambil alih Mesopotamia dan sebagian Persia dari tangan dinasti Sassanid dari Persia (yang mengakhiri masa kekaisaran sassanid) serta mengambil alih Mesir, Palestina, Syria, Afrika Utara dan Armenia dari kekaisaran Romawi (Byzantium).

Sejarah mencatat banyak pertempuran besar yang menjadi awal penaklukan ini. Pada pertempuran Yarmuk, yang terjadi di dekat Damaskus pada tahun 636, 20 ribu pasukan Islam mengalahkan pasukan Romawi yang mencapai 70 ribu dan mengakhiri kekuasaan Romawi di Asia Kecil bagian selatan. Pasukan Islam lainnya dalam jumlah kecil mendapatkan kemenangan atas pasukan Persia dalam jumlah yang lebih besar pada pertempuran Qadisiyyah (th 636), di dekat sungai Eufrat. Pada pertempuran itu, jenderal pasukan Islam yakni Sa`ad bin Abi Waqqas mengalahkan pasukan Sassanid dan berhasil membunuh jenderal Persia yang terkenal, Rustam Farrukhzad.

Pada tahun 637, setelah pengepungan yang lama terhadap Yerusalem, pasukan Islam akhirnya mengambil alih kota tersebut. Umar diberikan kunci untuk memasuki kota oleh pendeta Sophronius dan diundang untuk shalat di dalam gereja (Church of the Holy Sepulchre). Umar memilih untuk shalat ditempat lain agar tidak membahayakan gereja tersebut. 55 tahun kemudian, Masjid Umar didirikan ditempat ia shalat.

Umar melakukan banyak reformasi secara administratif dan mengontrol dari dekat kebijakan publik, termasuk membangun sistem administratif untuk daerah yang baru ditaklukkan. Ia juga memerintahkan diselenggarakannya sensus di seluruh wilayah kekuasaan Islam. Tahun 638, ia memerintahkan untuk memperluas dan merenovasi Masjidil Haram di Mekkah dan Masjid Nabawi di Medinah. Ia juga memulai proses kodifikasi hukum Islam.

Umar dikenal dari gaya hidupnya yang sederhana, alih-alih mengadopsi gaya hidup dan penampilan para penguasa di zaman itu, ia tetap hidup sebagaimana saat para pemeluk Islam masih miskin dan dianiaya.

Pada sekitar tahun ke 17 Hijriah, tahun ke-empat kekhalifahannya, Umar mengeluarkan keputusan bahwa penanggalan Islam hendaknya mulai dihitung saat peristiwa hijrah.

Wafatnya

Umar bin Khattab dibunuh oleh Abu Lukluk (Fairuz), seorang budak pada saat ia akan memimpin shalat Subuh. Fairuz adalah salah seorang warga Persia yang masuk Islam setelah Persia ditaklukkan Umar. Pembunuhan ini konon dilatarbelakangi dendam pribadi Abu Lukluk (Fairuz) terhadap Umar. Fairuz merasa sakit hati atas kekalahan Persia, yang saat itu merupakan negara digdaya, oleh Umar. Peristiwa ini terjadi pada hari Rabu, 25 Dzulhijjah 23 H/644 M. Setelah kematiannya jabatan khalifah dipegang oleh Usman bin Affan.
Readmore »» Umar bin Khaththab

Abu Bakar As Shiddieq

Beliau lahir dua tahun beberapa bulan setelah kelahiran Rasulullah Saw di kota Mekkah. Atau pada tahun 51 sebelum Hijriah (751 M). Nama lengkapanya Abdullah bin Utsman bin ‘Amir bin Ka’ab at-Taimy al-Qursy. Dulunya bernama Abdul Ka’bah, kemudian Rasulullah mengantinya dengan nama Abdullah. Gelarnya As-Sidiq; orang percaya. Ketika terjadi peristiwa Isro’ dan Mi’roj, beliaulah termasuk orang pertama yang percaya dengan peristiwa itu. Maka beliau digelari as-Siddiq. Nama panggilanya Abu Bakar. Ibunya bernama ummul Khoir Salma binti Shahr bin ‘Amir .

Di kalangan kaumnya dikenal dengan al-‘Atiq. Konon ceritanya Rasulullah pernah berkata; “Kamu adalah hamba Allah yang dijauhkan (‘Atiq) dari api neraka”. Maka sejak itulah terkenal di kalangan sahabat dengan sebutan al-‘Atiq. Pendapat lain mengatakan karena wajahnya yang ganteng. Pendapat lain karena banyak memerdekakan budak muslim seperti Bilal. Pendapat lain karena tidak ada cacat dalam nasabnya.

Mengenai pribadinya, Ibn Asakir meriwayatkan dari Abdullah bin az-Zubair, “Ketika para sahabat sedang kumpul dalam suatu majlis, seseorang bertanya kepada Abu Bakar. “Apakah kamu pernah minum khomer pada masa Jahiliyah?” kata orang itu. Beliau menjawab, “Aku berlingung kepada Allah. “Kenapa” orang itu bertanya. “Saya dapat menjaga kehormatan diriku dan muruah. Sebab orang yang minum khomer hilang kehormatannya dan muruahnya” jawab Abu Bakar. Orang pun melaporkan kepada Rasulullah. Rasulullah berkata, “Abu Bakar benar. Abu Bakar benar.” Dari Aisyah ‘Aisyah r.a. berkata, “Demi Allah, Abu Bakar r.a. belum pernah membaca syair pada masa Jahiliyah dan Islam. Beliau dan Utsman bin ‘Affan tidak pernah meminum khomer/arak.”

Pada waktu Rasulullah wafat, kaum muslimin mulai guncang dan kebinggungan akan keberlangsungan Islam. Melihat kondisi yang sangat membahayakan ini, beliau dengan lantang berkata; “ Siapa diantara kalian yang menyembah Muhammad (Rasulullah), maka Muhammad sudah wafat. Tapi barangsiapa menyembah Allah SWT maka Allah SWT itu hidup dan tidak akan mati.” Mendengar ucapan itu, maka tenanglah hati umat Islam. Hingga akhirnya Allah SWT menguatkan keimanan mereka.

Selepas Rasululllah wafat, beliau diangkat menjadi kholifah oleh kaum muslimin pada tahun 11 H. inilah sejarah pergantian kempimpinan umat Islam untuk pertama kali yang didasarkan pada syuro’ (musyawarah). Pada waktu dipilih menjadi kholifah beliau berkata; “Aku diangkat menjadi pemimpin kalian tapi bukan berarti aku yang paling baik dari kalian. Sekiranya aku melakukan kebaikan maka kalian harus menolongnya dan sekiranya aku berbuat salah maka kalian wajib meluruskan dan mengingatkan. Kejujuran adalah amanah dan berdusta adalah khianat dan pengingkaran terhadap yang benar. Orang-orang yang lemah diantara kalian, bagiku adalah orang kuat hingga aku memberikan haknya. Dan orang-orang yang kuat diantara kalian, bagiku adalah lemah hingga aku ambil hak-hak itu darinya.”

Istri-istri beliau; Ummu Rumman binti ‘Amir, Qutailah binti Abdul Izza, Asma’ binti ‘Umais dan Habibah binti Khorijah. Lahir dari perkawinnya tiga anak laki-laki dan tiga perempuan. Tiga anak laki-laki itu; Abdullah, Abdurrahman dan Muhammad. 3 anak perempuannya; Asma’, Aisyah (istri Rasulullah) dan Ummu Kultsum.

Beliau menjabat sebagai kholifah selama dua tahun dan tiga bulan. Wafat pada tahun 12 H berumur 63 tahun, seperti umur Rasulullah ketika wafat. Dikuburkan di dekat kuburan Rasulullah di kamar Aisyah RA. Sebelum wafatnya, beliau pernah berwasiat kepada Umar bin Khottob untuk menjadi kholifah.

Beliau sangat pandai dalam ilmu nasab (silsisah keturunan) suku dan juga penceritaannya. Beliau termasuk dari ketua-ketua Quraisy di masa Jahiliyah yang disegani dan senangi karena sikapnya yang bijak. Selama hidupnya belum pernah minum khomer dan menyembah patung. Ketika di Yaman, seorang syeik dari al-Azd pernah memberitahu tentang hadirnya kenabian Muhammad Saw. Beliau orang pertama yang meyakini dan mempercayai kenabian Muhammad. Seperti halnya berita yang disampaikan Waroqoh bin Naufal kepada beliau mengenai kenabian Muhammad Saw.

Pada waktu hijrah, beliau menjadi teman Rasulullah dalam perjalanan hijrah itu, begitu juga ketika Rasulullah berada di gua Hira. Hal ini bisa dibaca dalam firman Allah; “…sedang ia salah seorang dari dua sahabat pada waktu di gua Hiro..(QS.at-taubah:40). Ketika melakukan ibadah haji beliau orang pertama menjadi amir (ketua) rombongan kaum muslimin dalam haji tersebut dan orang pertama yang menjadi imam sholat setelah wafatnya Rasulullah.

Diantara orang-orang yang memeluk Islam atas jasanya adalah; az-Zubair bin al-Awwa, Utsman bin Affan, Abdurrahman bin ‘Auf, Saad bin Abu Waqos, Tholhah bin Ubaidillah, Abu ‘Ubaidah bin Jarrah. Mereka termasuk 10 orang-orang yang diberitakan masuk surga. Termasuk beliau juga.

Beliau telah memerdekakan 7 orang; Bilal, ‘Amir bin Fahiroh, Zanirah, Nahdiyah dan anak perempuannya, Jariyah bani Muammal dan Ummu ‘Abis. Mengumpulkan mushaf yang tersebar di pelbagai pelosok. Beliau juga orang yang sangat tegas memerangi orang-orang murtad (keluar dari Islam) dan engan membayar zakat. Pada masa beliau memangku kholifah, syiar Islam tersebar melalui penaklukan ke pelbagai negara. Inilah sejarah awal penaklukan dalam Islam. Ada 142 hadits yang diriwayatkankan. Diantara riwayat hadits dari beliau; Suatu ketika Abu Bakar bertanya kepada Rasulullah. “Wahai Rasulullah, ajarkan kepadaku do’a dalam sholat.” Rasulullah menjawab: “berdoalah dengan ini; “Allahumma inni dholamtu nafsi dhulman katsiro…(Wahai Allah, aku banyak berbuat kedhaliman, tidak ada orang yang boleh berikan ampunan dosa-dosa dholimku kecuali Engkau. Maka berilah ampunana atas semua dosa-dosaku dan berilah kasih sayang dan rahmat. Sesungguhnya Engkau adalah Dzat yang Maha Pemberi Ampunan dan Kasih sayang” (HR.Bukhori)

Apa kata Rasulullah mengenai pribadinya: “Tidak seorangpun diantara manusia yang lebih banyak dari Abu Bakar dalam menjaga diriku denganm jiwa dan hartanya. Sekiranya dibolehkan aku menjadikan teman baik diantara manusia niscaya saya jadikan Abu Bakar sebagai teman baik. Akan tetapi pertemanan dan persaudaraan atas nama Islam itu lebih utama. Silahkan kalian tutup setiap pintu untukku di masjid kecuali pintu Abu Bakar (HR.Bukhori).

Dalam hadits lain disebutkan,suatu ketika Rasulullah bertanya kepada para sahabat; “ Siapa diantara kalian yang hari ini berpuasa.” Abu Bakar menjawab; “Saya, wahai baginda Rasul. “Siapa diantara kalian yang telah memberi makan orang miskin?” Abu Bakar menjawab; “Saya, Wahai Rasul.” “Siapa diantara kalian telah mendoakan dan menjenguk orang sakit?” Abu Bakar menjawab; “Saya, wahai baginda Rasul.” Setelah itu Rasulullah bersabda; “Sekiranya sifat dan perbuatan tersebut dilakukan oleh seseorang maka kelak dia akan masuk surga.”

Wasiat Abu Bakar kepada Umar sebelum ajal menjemputnya sebagaimana diceritakan Abdurrahman bin Abdullah bin Sabith “Pada waktu ajal hendak menjemputnya, beliau memangil Umar. Beliau berkata, “Wahai Umar, ingatlah bahwa ada amalan untuk Allah yang dilakukan siang hari yang Allah tidak akan menerima amalan itu di waktu malam. Dan ada amalan untuk Allah yang di malam hari yang tidak akan diterima di waktu siang. Allah tidak menerima amalan sunnah sehingga yang wajib dilaksanakan. Timbangan amal baik di akherat menjadi berat karena mengikuti jalan kebenaran di dunia hingga Allah beratkan timbangan atas mereka. Dan timbangan (baik) manusia berkurang di akherat karena manusia mengikuti jalan sesat/batil selama di dunia

Ketika beliau wafat, Ali bin Tholib berkata; “Semoga Allah memberikan rahmat kepada Abu Bakar, Kamu adalah saudara Rasulullah, kawan dekat, penghibur duka lara, dan kawan dalam bermusyawarah. Kamu adalah orang pertama yang berislam, yang paling ikhlas beriman kepada Allah dan Rasulul-Nya, yang paling baik dalam persahabatan dan paling mulia diantara kaum lainnya. Kamu juga yang paling serupa dengan Rasulullah ketika diam dan gerak. Allah telah angkat derajat namamu, wahai Abu bakar dalam tingkatan yang paling tinggi. Allah berfirman; “ Dan orang yang percaya dengan kenabian Muhammad.

Dalam riwayat Asakir dari al-Ashma’y disebutkan bahwa Abu Bakar jika dipuji beliau berdo’a “Ya Allah Engkau lebih tahu tentang diriku dan saya lebih tahu dari mereka. Ya Allah berikan kebaikan padaku dari apa yang mereka sangkakan. Ampunilah aku dari apa yang mereka tidak tahu dan jangan azab aku dari apa yang mereka katakan.”
Readmore »» Abu Bakar As Shiddieq

Ali bin Abi Thalib

Ayahnya adalah: Abu Thalib, paman Nabi saw, bin Abdul Muththalib, bin Hasyim, bin Abdi Manaf, bin Qushayy. Ibunya adalah: Fathimah binti Asad, bin Hasyim, bin Abdi Manaf. Saudara-saudara kandungnya adalah: Thalib, 'Uqail, Ja'far dan Ummu Hani.

Dengan demikian, jelaslah, Ali adalah berdarah Hasyimi dari kedua ibu-bapaknya. Keluarga Hasyim memiliki sejarah yang cemerlang dalam masyarakat Mekkah. Sebelum datangnya Islam, keluarga Hasyim terkenal sebagai keluarga yang mulia, penuh kasih sayang, dan pemegang kepemimpinan masyarakat. Ibunya adalah Fathimah binti Asad, yang kemudian menamakannya Haidarah. Haidarah adalah salah satu nama singa, sesuai dengan nama ayahnya: Asad (singa). Fathimah adalah salah seorang wanita yang terdahulu beriman dengan Risalah Nabi Muhammad Saw. Dia pula-lah yang telah mendidik Nabi Saw, dan menanggung hidupnya, setelah meninggalnya bapak-ibu beliau, Abdullah dan Aminah. Beliau kemudian membalas jasanya, dengan menanggung kehidupan Ali, untuk meringankan beban pamannya, Abu Thalib, pada saat mengalami kesulitan ekonomi. Saat Fathimah meninggal dunia, Rasulullah Saw yang mulai mengkafaninya dengan baju qamisnya, meletakkannya dalam kuburnya, dan menangisinya, sebagai tangisan seorang anak atas ibunya. Dan bersabda:

"Semoga Allah SWT memberikan balasan yang baik bagi ibu asuhku ini. Engkau adalah orang yang paling baik kepadaku, setelah pamanku dan almarhumah ibuku. Dan semoga Allah SWT meridhai-mu."

Dan karena penghormatan beliau kepadanya, maka beliau menamakan anaknya yang tersayang dengan namanya: Fathimah. Darinyalah kemudian mengalir nasab beliau yang mulia, yaitu anak-anaknya: Hasan, Husein, Zainab al Kubra dan Ummu Kultsum.

Haidarah adalah nama Imam Ali yang dipilihkan oleh ibunya. Namun ayahnya menamakannya dengan Ali, sehingga dia terkenal dengan dua nama tersebut, meskipun nama Ali kemudian lebih terkenal.

Anak-anaknya adalah: Hasan, Husein, Zainab, Ummu Kultsum, dari Fathimah binti Rasulullah Saw. Seorang isteri yang tidak pernah diperlakukan buruk oleh Ali r.a. selama hidupnya. Bahkan Ali tetap selalu mengingatnya setelah kematiannya. Ia juga mempunyai beberapa orang anak dari isteri-isterinya yang lain, yang ia kawini setelah wafatnya Fathimah r.a. Baik isteri dari kalangan wanita merdeka maupun hamba sahaya. Yaitu: Muhsin, Muhammad al Akbar, Abdullah al Akbar, Abu Bakar, Abbas, Utsman, Ja'far, Abdullah al Ashgar, Muhammad al Ashghar, Yahya, Aun, Umar, Muhammad al Awsath, Ummu Hani, Maimunah, Rahmlah ash Shugra, Zainab ash Shugra, Ummu Kaltsum ash Shugra, Fathimah, Umamah, Khadijah, Ummu al Karam, Ummu Salmah, Ummu Ja'far, Jumanah, dan Taqiyyah.

Keturunannya yang mulia, selanjutnya mengalir dari Hasan, Husain, Muhammad bin Hanafiah, Umar dan Abbas. Karena kecintaan dan penghormatannya yang mendalam terhadap sahabat Nabi yang mulia, dan yang telah dijanjikan masuk surga, maka ia menamakan beberapa orang anaknya dengan nama-nama mereka, yaitu: Abu Bakar, Umar, dan Utsman. Abu Bakar, anaknya, terbunuh bersama Husain dalam peristiwa Karbala. Anak ini merupakan anak dari isterinya, Laila bin Mi'waz. Sementara anaknya Utsman yang dilahirkan dari isterinya Ummu Banin, juga terbunuh dalam perisitwa Karbala. Sedangkan Umar adalah anaknya dari Ummu Habib ash Shahba.

Saat imam Ali mendapatkan mati syahid, ia meninggalkan empat orang isteri yang merdeka, yaitu: Umamah, Laila, Ummu Banin dan Asma bin 'Umais. Serta delapan belas orang hamba sahaya wanita.

Jumlah seluruh anak lakinya adalah lima belas orang, dan anak perempuannya adalah delapan belas orang.

Kelahirannya

Fathimah binti Asad melahirkan anaknya, Haidarah (Ali KW), di Ka'bah, pada dua puluh satu tahun sebelum hijrah. Ada yang mengatakan, pada tahun ke tiga puluh dua dari kelahiran Rasulullah saw. Ia adalah anak bungsu dari kedua orang tuanya, selain Ja'far, Uqail dan Thalib. Saat Abu Thalib mengalamai krisis ekonomi karena kekeringan yang melanda, seperti yang dialami oleh orang-orang Quraisy, Rasulullah saw menyarankan kepada kedua pamannya: Hamzah dan Abbas untuk turut membantu meringankan beban saudaranya, Abu Thalib, dengan menanggung biaya hidup anaknya. Maka keduanya pun memenuhi permintaan tersebut. Mengetahui hal itu, Abu Thalib berkata kepada kedua saudaranya tersebut,: "Ambillah siapa yang kalian ingini, namun tinggalkanlah Uqail, untuk tetap aku didik." Uqail adalah anak yang paling disayangi oleh Abu Thalib. Maka Abbas mengambil Thalib, Hamzah mengambil Ja'far dan Rasulullah saw mengambil Ali KW.

Adalah Nabi Saw bagi anak keponakannya, Ali KW, bertindak sebagai bapak, saudara, teman, dan guru pendidik. Dan Ali pun menerima beliau pengganti kedua orang tua, dan keluarganya. Sehingga ia pun terdidik dalam didikan Nabi Saw. Ia Merupakan keturunan puncak keluarga Hasyimiah, yang darinya terlahir kemuliaan, kedermawanan, sifat pemaaf, ksaih sayang dan hikmah yang lurus.

Seperti diriwayatkan, ia tumbuh menjadi anak yang cepat matang. Di wajahnya tampak jelas kematangannya, yang juga menunjukkan kekuatan, dan ketegasan. Saat ia menginjak usia pemuda, ia segera berperan penuh dalam dakwah Islam, tidak seperti yang dilakukan oleh pemuda seusianya. Contoh yang paling jelas adalah keikhlasannya untuk menjadi tameng Rasulullah Saw saat beliau hijrah, dengan menempati tempat tidur beliau. Ia juga terlibat dalam peperangan yang hebat, seperti dalam perang Al Ahzab, dia pula yang telah menembus benteng Khaibar. Sehingga dia dijuluki sebagai pahlawan Islam yang pertama.

Isteri-isterinya: setelah Fathimah az Zahra wafat, Imam Ali menikahi Umamah bin Abi Al Ash bin Rabi' bin Abdul Uzza al Qurasyiyyah. Selanjutnya menikahi Umum Banin bini Haram bin Khalid bin Darim al Kulabiyah. Kemudian Laila binti Mas'ud an Nahsyaliyyah, ad Daarimiyyah dari Tamim. Berikutnya Asmaa binti 'Umais, yang sebelumnya merupakan isteri Ja'far bin Abi Thalib, dan selanjutnya menjadi isteri Abu Bakar (hingga ia meninggal), dan berikutnya menjadi isteri imam Ali. Selanjutnya ia menikahi Ummu Habib ash Shahbaa at Taghalbiyah. Kemudian, Khaulah binti Iyas bin Ja1far al Hanafiyyah. Selanjutnya Ummu Sa'd ats Tsaqafiyyah. Dan Mukhabba'ah bintih Imri'il Qais al Kulabiyyah.

Sifat-sifatnya: Imam Ali KW adalah seorang dengan perawakan sedang, antara tinggi dan pendek. Perutnya agak menonjol. Pundaknya lebar. Kedua lengannya berotot, seakan sedang mengendarai singa. Lehernya berisi. Bulu jenggotnya lebat. Kepalanya botak, dan berambut di pinggir kepala. Matanya besar. Wajahnya tampan. Kulitnya amat gelap. Postur tubuhnya tegap dan proporsional. Bangun tubuhnya kokoh, seakan-akan dari baja. Berisi. Jika berjalan seakan-akan sedang turun dari ketinggian, seperti berjalannya Rasulullah Saw. Seperti dideskripsikan dalam kitab Usudul Ghaabah fi Ma'rifat ash Shahabah: adalah Ali bin Abi Thalib bermata besar, berkulit hitam, berotot kokoh, berbadan besar, berjenggot lebat, bertubuh pendek, amat fasih dalam berbicara, berani, pantang mundur, dermawan, pemaaf, lembut dalam berbicara, dan halus perasaannya.

Jika ia dipanggil untuk berduel dengan musuh di medan perang, ia segera maju tanpa gentar, mengambil perlengkapan perangnya, dan menghunuskan pedangnya. Untuk kemudian menjatuhkan musuhnya dalam beberapa langkah. Karena sesekor singa, ketika ia maju untuk menerkam mangsanya, ia bergerak dengan cepat bagai kilat, dan menyergap dengan tangkas, untuk kemudian membuat mangsa tak berkutik.

Tadi adalah sifat-sifat fisiknya. Sedangkan sifat-sifat kejiwaannya, maka ia adalah sosok yang sempurna, penuh dengan kemuliaan.

Keberaniannya menjadi perlambang para kesatria pada masanya. Setiap kali ia menghadapi musuh di medan perang, maka dapat dipastikan ia akan mengalahkannya.

Seorang yang takwa tak terkira, tidak mau masuk dalam perkara yang syubhat, dan tidak pernah melalaikan syari'at.

Seorang yang zuhud, dan memilih hidup dalam kesederhanaan. Ia makan cukup dengan berlauk-kan cuka, minyak dan roti kering yang ia patahkan dengan lututnya. Dan memakai pakaian yang kasar, sekadar untuk menutupi tubuh di saat panas, dan menahan dingin di kala hawa dingin menghempas.

Penuh hikmah, adalah sifatnya yang jelas. Dia akan berhati-hati meskipun dalam sesuatu yang ia lihat benar, dan memilih untuk tidak mengatakan dengan terus terang, jika hal itu akan membawa mudharat bagi umat. Ia meletakkan perkara pada tempatnya yang tepat. Berusaha berjalan seirama dengan rekan-rekan pembawa panji dakwah, seperti keserasian butiran-butiran air di lautan.

Ia bersikap lembut, sehingga banyak orang yang sezaman dengannya melihat ia sedang bergurau, padahal hal itu adalah suatu bagian dari sifat kesempurnaan yang melihat apa yang ada di balik sesuatu, dan memandang kepada kesempurnaan. Ia menginginkan agar realitas yang tidak sempurna berubah menjadi lurus dan meningkat ke arah kesempurnaan. Gurauan adalah 'anak' dari kritik. Dan ia adalah 'anak' dari filsafat. Menurutku, gurauan yang tepat adalah suatu tanda ketinggian intelektualitas para tokoh pemikir dalam sejarah.

Ia terkenal kefasihannya. Sehingga ucapan-ucapannya mengandung nilai-nilai sastra Arab yang jernih dan tinggi. Baik dalam menciptakan peribahasa maupun hikmah. Ia juga mengutip dari redaksi Al Quran, dan hadits Rasulullah Saw, sehingga menambah benderang dan semerbak kata-katanya. Yang membuat dirinya berada di puncak kefasihan bahasa dan sastra Arab.

Ia amat loyal terhadap pendidiknya, Nabi-nya, juga Rabb-nya. Serta berbuat baik kepada kerabatnya. Amat mementingkan isterinya yang pertama, Fathimah az Zahra. Dan ia selalu berusaha memberikan apa yang baik dan indah kepada orang yang ia senangi, kerabatnya atau kenalannya.

Ia berpendirian teguh, sehingga menjadi tokoh yang namanya terpatri dalam sejarah. Tidak mundur dalam membela prinsip dan sikap. Sehingga banyak orang yang menuduhnya bodoh dalam politik, tipu daya bangsa Arab, dan dalam hal melembutkan sikap musuh, sehingga kesulitan menjadi berkurang. Namun, sebenarnya kemampuannya jauh di atas praduga yang tidak benar, karena ia tahu apa yang ia inginkan, dan menginginkan apa yang ia tahu. Sehingga, di samping kemanusiaannya, ia seakan-akan adalah sebuah gunung yang kokoh, yang mencengkeram bumi. Itu emua adalah cermin dari percaya dirinya, keimanannya, dan keyakinanya terhadap Rabb-nya, lantas bagaimana mungkin ia menjadi lembek?

Ia dengan teguh menolak sikap yang tidak sesuai dengan kebenaran, atau syari'ah, atau akhlak atau kemuliaan. Jiwanya yang mulia menolak untuk menipu seorang gubernur yang senang berkuasa, dan yang menghamburkan kekayaan umat untuk kepentingan hamba nafsunya. Ia tidak tidak peduli dengan orang yang membenci, atau orang yang memusuhinya. Menurutku, ia adalah sifat orang yang kuat, baik dalam kepribadiaannya, pendapatnya dan dalam memegang kebenaran.

Barangkali ada yang berpikir bahwa ia telah bersikap lunak dalam peristiwa tahkim (arbitrase). Namun menurutku, dugaan seperti itu adalah suatu kebodohan. Imam Ali KW tidak bersifat lembek, namun ia lebih mementingkan persatuan umat. Karena orang-orang yang ikut bersidang saat itu sedang berada dalam kubu-kubu yang saling berbeda pendapat. Maka ia memilih untuk keluar dari kondisi terburuk menuju kondisi yang buruk. Ia telah menegaskan hal itu, dan memberi peringatan kepada para pengikutnya. Namun ternyata orang-orang yang berada di sekitarnya tenggelam dalam perdebatan tanpa ujung dan pertikaian tanpa henti. Sehingga terjadilah peristiwa-peristiwa yang memilukan.

Rasa kasih sayang dalam hatinya-lah yang mendorong dirinya untuk bersikap lunak dan tidak keras. Hal itu ia lakukan karena ingin menyelamatkan orang lain, sehingga ia rela meletakkan dirinya dalam bahaya. Ia rela untuk menebus nyawa orang yang ia kasihi, atau kelompok orang yang beriman, atau beberapa orang yang sedang diincar oleh musuh, dengan nyawanya. Sehingga diapun bersikap lunak, dan meminta jalan yang lebih baik. Agar kasih sayang mengalahkan kecemburuan, kecintaan mengalahkan kekerasan, dan menjauhkan orang-orang yang ia sayangi dari kebinasaan. Orang yang membaca apa yang ia pinta kepada Zubair bin Awwam dan Thalhah bin Abdullah, niscaya akan mengetahui bahwa keduanya telah menghianatinya, dan memeranginya. Maka iapun mengecam keduanya, dengan kecaman seorang penyayang terhadap orang yang ia sayangi. Ia mengingatkan keduanya tentang janji-janji yang pernah mereka ucapkan, dan kebersamaan mereka dalam menegakkan kalimat Allah SWT. Apa yang ia lakukan saat terjadi bentrokan yang terjadi antara dirinya dan Aisyah menjadi bukti akan ketinggian sifat kasih sayangnya, kemuliaan perasaannya, dan usahanya yang keras untuk memadamkan tanda-tanda ambisi rendahan, yang tidak layak bagi tokoh besar seperti dirinya, juga bagi tokoh mulia semacam Aisyah r.a. Oleh karena itu, ia berusaha melakukan negosiasi yang hanya dapat dilakukan oleh orang besar semacam dirinya, yaitu para mujahidin yang mulia.

--------------------------------------------------------------------------------

Dari buku: Khutbah-khutbah Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib RA.

Judul Asli: Khuthab Amiril Mukminin Ali bin Abi Thalib RA.

Pensyarah: Imam Muhammad Abduh

Penerbit: Maktabah Shahaafah, Kairo, tt.

Penerjemah: Muhammad Masnur Hamzah, Abdul Hay Kattaniy, Sulthaniy Yusuf

Edisi bahasa Indonesia diterbitkan oleh Gema Insani Press.
Readmore »» Ali bin Abi Thalib