Search-form

Selamat Membaca ..... elhaniyya.blogspot.com

Sunan Gresik

Jumat, 27 Agustus 2010

Satria Mega Pethak
Siang yang terik. Matahari memanggang bumi yang gersang di desa Tanggulangin.

Dari ujung desa nampak serombongan orang berkuda bersorak-sorai meneriakkan kata-kata kasar dan kotor. Mereka memacu kudanya dengan kecepatan tinggi.

Penduduk desa, terutama wanita dan anak-anak yang berada di luar rumah, langsung berteriak ketakutan dan masuk ke dalam rumah masing-masing ketika melihat gerombolan orang berkuda itu memasuki jalanan desa.

Gerombolan orang berkuda itu ada sekitar dua puluh orang, terus memacu kudanya hingga ketengah-tengah perkampungan penduduk.Dua orang berada di barisan terdepan mengangkat tangannya tinggi-tinggi sebagai pertanda agar mereka yang dibelakangnya berhenti.

Agaknya dua orang yang berada paling depan itu adalah pemimpinnya. Yang pertama tubuhnya tinggi besar, berewokan, ada membawa tanda tentara kerajaandi dadanya namun tanda itu dikenakan enaknya saja tanpa mengindahkan aturan satuan pasukan. Yang seorang lagi bertubuh sedang bahkan agak kurus, namun pakaiannyalebih bersih dan rapi. Hanya saja pakaian yang dikenakannya adalah pakaian biasa pakaian para petani perdesaan.

Delapan belas orang di belakang lebih parah lagi. Potongan mereka memang seperti prajurit kerajaan, tapi cara berpakaian mereka sudah tidak keruan.

“Hai penduduk Tanggulangin!” teriak si tinggi besar dan berewokan dengan kerasnya.” Aku Julung Pujud ! Kuperintahkan kalian menyerahkan harta benda yang kalian punyai di pelataran rumah masing-masing. Jika tidak ! Seluruh desa ini akan kuratakan dengan tanah, kubakar habis rumah kalian !”

Tak ada reaksi maupun jawaban. Rumah para penduduk tetap tertutup rapat. Tak seorangpun berani menampakkan diri.

Wajah si penunggang kuda berpakaian petani nampak murung mendengar ucapan orang yang menyebut dirinya Julung Pujud itu. Namun dia hanya dapat menghela nafas panjang. “Sampai kapan ini akan berlangsung ……….?” Gumannya lirih. Sebenarnya aku sudah muak melakukannya.”

“Hei, Tekuk Panjalin ! “Tegur Julung Pujud.” Kau barusan bicara apa ?”

“Tidak apa-apa, “Sahut Tekuk Panjalin.” Tak usah dihiraukan.

“Jangan macam-macam,” tukas Julung Pujud.” Kita harus melakukannya. Terus melakukannya hingga harta kita terkumpul banyak dan nantinya dapat kita gunakan untuk bersenang-senang hingga tujuh turunan .”

Orang yang disebut Tekuk Panjalin hanya berdiam diri. Beberapa saat kemudian, karena tak ada jawaban dari penduduk setempat. Wajah Julung Pujud nampak merah padam.

“Kurang ajar !” Bentaknya marah.” Di desa manapun orang akan membungkuk-bungkuk dan menyembah kakiku jika mendengar namaku disebut. Tapi kalian penduduk Tanggulangin tidak memandangku sebelah mata. Baik ! Kalian memang perlu diberi pelajaran!”

Ia menoleh kepada anak buah yang berada di belakangnya.

“Nyalakan obor !” Perintahnya. “Bakar semua rumah desa ini !”

Beberapa orang segera turun dari kuda untuk menyalakan obor yang sudah mereka siapkan. Lalu naik lagi ke atas kuda beberapa rekannya yang lain tinggal menyahutkan api pada obor itu. Dalam tempo singkat tiga belas orang itu sudah memegang obor menyala di tangan kanan. Sementara tangan kirinya tetap memegang kendali kuda.

Kini mereka mulai mendekati rumah-rumah penduduk. Siap menyulutkan api ke dinding-dinding rumah yang terbuat dari kayu dan beratapkan ilalang.

Sepasang mata Julung Pujud tiba-tiba menatap lurus ke arah sebuah bangunan aneh. Sebuah rumah terbuat dari dinding kayu beratapkan genteng. Nampaknya baru saja didirikan di sebelah barat pusat perkampungan. Sepasang matanya yang tajam dapat melihat sekelompok orang sedang duduk bersila dengan mulut komat kamit.

Julung Pujud segera mendekati bangunan baru itu. Sepertinya Sanggar Pemujaan. Tapi makin dekat hatinya makin yakin jika bangunan itu bukan tempat beribadahnya orang-orang beragama Hindu maupun Budha.

Tepat pada saat itu orang yang duduk di bagian paling depan mengorak sila, berdiri dan mengajak orang-orang yang berada di belakangnya untuk keluar menemui Julung Pujud.

“Hoooo ! Jadi kalian berkumpul dan bersembunyi di tempat ini. Apa yang kalian rundingkan. Mau melawanku ?” tanya Julung Pujud dengan suara mengejek.

Seorang pemuda berusia dua puluh lima tahun maju menghampiri Julung Pujud yang masih duduk di atas kudanya. Wajahnya bersih bercahaya. Kepalanya dibungkus dengan kain putih hingga sebagian rambutnya tak kelihatan kecuali di dekat pelipis dan telinga.

“Ki Julung Pujud !” tegur pemuda itu dengan suara mantap.” Sudah lama kudengar nama dan sepak terjangmu ! Sungguh sangat kebetulan sekali sekarang dapat bertemu denganmu. Mana anak buahmu ?”

Julung Pujud mendelik. Hampir saja sepasang matanya meloncat keluar saking marahnya. Baru kali ini ada seorang penduduk berani berkata seperti kepada dirinya.

Biasanya mereka tak berani menatap wajahnya, menunduk bahkan menyembah-nyembah.

“Edan ! Gila !” umpatnya keras-keras. “Lancang sekali mulutmu anak muda. Sudah bosan hidup rupanya. Katakan kaukah yang mengumpulkan para penduduk untuk bersembunyi di tempat ini ?”

Pemuda itu malah menatap lekat kearah Julung Pujud. Lalu ganti ke arah lelaki di sampingnya yaitu Tekuk Penjalin yang lebih suka berdiam diri dan nampaknya lebih tenang.

Tak ada rasa takut maupun gentar. Julung Pujud benar-benar merasa dilecehkan.

Ki Julung Pujud ! Sebagian orang memang takut kepadamu. Terutama wanita yang lemah dan anak-anak. Tetapi tadi kami berkumpul di surau bukannya bersembunyi. Melainkan sedang mengerjakan shalat dhuhur !” jawab pemuda tampan itu.

Julung Pujud menoleh ke arah Tekuk Penjalin yang tetap berdiam diri namun sepasang matanya menatap tajam-tajam ke arah si pemuda.

“Hem, akhirnya kita ketemu macan juga rupanya, “Guman Tekuk Penjalin lirih.

“Macan ?” tukas Julung Pujud. “Masih perlu dibuktikan lagi, apakah dia seekor macan atau sekedar kucing buduk dan anjing kurap yang biasanya Cuma mengonggong !”

“Buktikanlah ! sahut Tekuk Penjalin tanpa basa basi.

“Baik, panggil anak buah kita supaya dapat menyaksikan bagaimana caranya aku menggebuk anjing muda-muda ini supaya lari terkaing-kaing !” kata Julung Pujud sembari melompat dari atas kuda dan langsung hinggap di hadapan si pemuda tampan.

Tekuk Penjalin memutar kudanya dan segera memacu ke arah anak buahnya yang sudah bersiap-siap hendak membakar rumah-rumah penduduk.

Cepat berkumpul. Buang obor kalian ! Kita bakal menyaksikan pertandingan menarik!” teriak Tekuk Penkalin begitu melihat anak buahnya.

Maka delapan belas orang berkuda itu segera mengikuti langkah kaki kuda Tekuk Penjalin untuk menuju ke tempat Julung Pujud sedang berhadapan dengan si pemuda tampan.

“Anak muda !” hardik Julung Pujud.” Sebelum nyawamu lepas dari badan. Katakan siapa namamu supaya orang-orangku mengetahui bahwa pernah ada seorang anak muda berani coba-coba melawanku, dan akhirnya bernasib sial !”

“Namaku Ghafur ! Tetapi lidah orang-orang jawa memanggilku Gapur. Kuperingatkan kepadamu, tinggalkan dunia kejahatan, jadilah orang baik-baik sebelum terlambat !”

“Hoo! Jadi namamu Kapur ?” ejek Julung Pujud” Pantas wajah dan kulitmu putih seperti mayat. Dan memang kau akan segera jadi mayat !”

Tepat pada saat itu Tekuk Penjalin datang bersama tiga belas orang anak buahnya.

“Hem,” ujar Tekuk Penjalin. “Jadi kaupun ikut-ikutan jadi anjing, Pujud ? Apakah kaupun hanya akan mengajak anak muda itu untuk saling mengonggong ?”

Julung Pujud melirik ke arah Tekuk Penjalin dengan hati mendongkol.

“Penjalin ! Aku hanya sekedar mengisi waktu untuk menunggu kedatanganmu !” ujarnya pedas.

“Nah, mulai meraung lagi. Kenapa tidak lekas kau bikin modar anak muda itu ?” tukas Tekuk Penjalin.

Sementara itu pemuda bernama Gafur segera melipat lengan bajunya yang panjang.

Agaknya pertarungan antaranya dengan Julung Pujud tak bias dihindarkan lagi.

‘sebenarnya aku paling benci menggunakan kekerasan. Tapi kepala kalian memang kepala batu yang patut dipukul dengan tangan besi !” ujar Gafur.

“Hiaaaaat !” Tanpa basa basi lagi karena malu terus diejek Tekuk Penjalin, lelaki berewokan itu menerjang maju ke arah Gafur. Sepasang tangannya membentuk cakar rajawali di arahkan ke wajah Gafur yang putih bersih.

Semua orang, terutama para pendududk desa yang berdiri di belakang Gafur berteriak kaget. Sebab Gafur sepertinya tak bereaksi, hanya diam saja, Seolah membiarkan Julung Pujud menampar dan mencakar wajahnya begitu saja.

“Plak ! Dess !” ternyata tidak. Begitu jarak serangan tinggal sekilan (kurang lebih 10 cm) Gafur menangkis tangan yang hendak mencengkeram wajahnya bahkan langsung balik mengirim serangan dengan menendang dada Julung Pujud.

Julung Pujud mengaduh kesakitan dengan tubuh terdorong ke belakang beberapa langkah. Dadanya terasa bagai di hantam palu godam puluhan kilo. Benar-benar kecele.

Sudah diperhitungkan, melihat keberanian si pemuda tentulah Gafur itu mempunyai sedikit kepandaian. Tapi sungguh tak disangkanya jika kepandaian ilmu silat si pemuda demikian tingginya sehingga sekali gebrak dia dibikin mundur sempoyongan dengan dada ampek.

Tadinya ia berharap akan meringkus pemuda itu dengan sekali serangan saja. Itu sebabnya dia langsung mengerahkan jurus Rajawali Sakti tingkat ke delapan belas. Dia ingin mencengkeram dan langsung memutar leher Gafur, sekali pelintir putuslah nyawa pemuda itu.

Tapi siapa sangka keadaan jadi terbalik. Justru dia yang terkena tendangan telak. Kini dengan wajah merah padam Julung Pujud langsung mencabut golok di pinggangnya. Dan dengan teriakan mengguntur dia merangsak lagi ke depan. Menebaskan goloknya ke arah perut Gafur. Namun dengan mudahnya pemuda itu berkelit ke sana kemari.

Semua serangan Julung Pujud hanya mengenai tempat kosong. Keringat dingin segera membasahi wajahnya. Ia merasa malu dan penasaran. Tekuk Penjalin juga merasa terkejut.

Dia adalah seorang pendekar kawakan. Belum pernah dia melihat kecepatan gerak seorang pesilat seperti Gafur. Ia terus memperhatikan cara-cara Gafur mengelak dan balas menyerang.

Akhirnya dia dapat menyimpulkan ciri khas dari ilmu silat yang dimiliki pemuda itu.

“Lembu Sekilan ………. ?” teriaknya agak ragu.

Julung Pujud yang mendengar teriakan Tekuk Penjalin terkejut sekali. Lembu Sekilan adalah ilmu tingkat tinggi. Tak sembarang orang mampu mempelajari ilmu itu. Tapi Gafur yang berusia semuda itu sudah menguasainya dengan baik. Sehingga setiap serangan yang dilancarkan tidak akan pernah menyentuhnya. Selalu berjarak kurang dari sekilan dari sasaran. Tiga puluh jurus telah berlalu. Selama ini Gafur lebih banyak mengalah. Ia lebih sering mengelak atau menangkis, hanya sesekali balas menyerang dengan tenaga biasa.

Sementara Julung Pujud sangat bernafsu merobohkan atau membunuh pemuda itu dengan seluruh kemampuan yang ada. Ia telah mengerahkan semua ilmunya. Baik ilmu yang dipelajarinya dari satuan pasukan elite Majapahit maupun ilmu kotor dengan jurus-jurus keji yang penuh gerak tipuan. Semua itu ternyata tak mampu dipergunakan untuk menyentuh tubuh Gafur.

“Dasar tak tahu diri !” tiba-tiba Tekuk Penjalin angkat bicara. “Kalau mau sebenarnya sudah mampu mencabut nyawamu sejak tadi !”

Julung Pujud makin panas mendengar ejekan rekannya itu. Tekuk Penjalin memang selalu jadi saingannya dalam segala hal. Ilmu mereka berimbang tapi Tekuk Penjalin nampak lebih tenang dan penuh perhitungan. Tak gampang terbawa arus nafsu amarah yang merusak segala pertimbangan akal sehat. Kini Julung Pujud menyerang Gafur dengan membabi buta. Hingga suatu ketika Gafur merasa sudah saatnya memberikan pelajaran kepada pemimpin gerombolan perampok itu.

“Trang ! Desss ! Desss !”

Saat itu Julung Pujud membacokan goloknya ke arah kepala Gafur. Gafur menangkis dengan tangan kirinya. Semua orang terkejut. Mengira tangan Gafur yang bakal putus dibabat golok itu. Ternyata justru golok itulah yang patah menjadi dua. Dan sebelum hilang rasa terkejutnya, Julung Pujud tahu-tahu merasa perutnya kena tendangan teramat keras dari sepasang kaki Gafur yang dilancarkan secara beruntun. Tubuh Julung Pujud terjungkal ke belakang dengan terjembab ke tanah dengan keras sekali. Mulutnya mengeluarkan darah segar. Nafasnya terengah-engah. Tiga belas anak buahnya hanya memandanginya dengan bengong, tak tahu apa yang harus dilakukannya.

Goblok !” umpatnya dengan nafas tersenggal. “Mengapa kalian diam saja. Cepat serbu bangsat itu ! Bunuh dia !”

Delapan belas prajurit itu langsung turun dari kudanya masing-masing. Dengan menghunus golok di tangan mereka menyerbu ke arah Gafur.

Namun puluhan penduduk yang tadinya hanya berdiri di belakang Gafur segera mengambil senjata seadanya. Dan mereka segera menyerbu ke arah kawanan perampok yang hendak mengeroyok Gafur.

Ternyata ada beberapa pemuda desa yang telah mempunyai kepandaian ilmu silat. Dan cukup membuat kawanan rampok itu repot meladeni serangannya. Belum lagi puluhan penduduk yang menyerang dengan nekad dengan senjata parang, golok, tombak, cangkul, tongkat penumbuk padi, lemparan batu dan sebagainya.

Selama menjarah desa puluhan kali belum pernah kawanan rampok itu mendapat perlawanan sesengit ini. Biasanya para penduduk desa sudah mengkeret begitu mendengar gertakan mereka. Tak ada yang berani melawan.

Apa yang dikatakan Tekuk Penjalin bahwa mereka sedang bertemu dengan macan rupanya benar-benar menjadi kenyataan. Seluruh penduduk desa Tanggulangin agaknya telah berubah menjadi sekawanan harimau terluka. Siap menerkam siapa saja yang coba-coba mengusik ketenangannya. Julung Pujud melangkah tertatih-tatih ketepian. Menjauhi pertempuran. Mendekati kudanya yang ditambatkan pada sebatang pohon sawo. Sementara delapan belas anak buahnya bertarung sengit dengan puluhan penduduk desa. Tekuk Penjalin langsung meloncat ke depan Gafur.

“Senang sekali bertemu denganmu anak muda.” Katanya dengan wajah berseri-seri.

“Sudah lama sekali aku tak bertemu lawan tangguh yang dapat mengimbangi ilmuku.”

Habis berkata demikian dia langsung melancarkan serangan dari jarak jauh.

Serangkum hawa panas meluncur ke dada Gafur. Pemuda itu, sudah merasakan kesiuran angin sebelum tenaga dalam yang dilancarkan Tekuk Penjalin mengenai tubuhnya. Cepat ia membaca beberapa ayat Al-Qurán. Kedua telapak tangannya dibentangkan lebar-lebar untuk menangkis.

“Wesssss .......... ! Hiaaaaat ! Tap !”

Cerdik sekali Tekuk Penjalin. Ia sudah menduga serangannya bakal membalik. Maka dia meloncat tinggi-tinggi ke arah pohon mangga. Dan hinggap disalah satu dahannya. Gafur memandangnya sejenak. Kemudian menoleh ke arah penduduk desa yang sedang bertempur melawan kawanan perampok. Ia mengerutkan dahi. Buas dan brutal sangat cara para perampok itu bertempur. Beberapa penduduk berhasil dilukainya, bahkan ada lima orang penduduk yang sudah roboh di atas tanah dengan luka parah terbabat golok.

“Aku tak bisa membiarkan ini terjadi.” Gumannya lirih. Lalu meloncat ke arah Tekuk Penjalin yang masih tertengger diatas dahan pohon mangga.

Tampa diduga tiba-tiba Tekuk Penjalin menyambitkan sebuah daun ke arahnya. Gafur berjumpalitan di udara beberapa kali untuk menghindari daun mangga yang meluncur bagai sebatang anak panah.

“Tasss ! Jreppp !”

Gafur berhasil menghindari sembitan daun mangga yang telah diisi dengan tenaga sakti. Daun itu mengenai batang pohon pisang di sebelahnya, tembus dan meluncur lagi ke arah batang pohon kelapa. Amblas dan menancap do batang pohon kelapa itu.

Gafur bergidik ngeri. Bagaimanakah jika daun itu mengenai tubuhnya ?

Nalurinya berkata lawannya kali ini bukan sembarang orang. Melainkan lawan tangguh yang mempunyai ilmu sangat tinggi. Ia sudah berhasil hinggap di salah satu dahan pohon mangga, tepat diseberang Tekuk penjalin.

“Ki Tekuk Penjalin, andika seorang pendekar perkasa, “Tegur Gafur dengan sopan sekali. “Mengapa harus berloncatan ke dahan pohon seperti tupai ? Mari kita tuntaskan pertarungan ini di atas tanah.”

“Kau takut bertempur di atas pohon ? Ejek Tekuk Penjalin.

“Andika salah sangka. Saya hanya tidak mau merusak pohon ini tanpa suatu alasan yang benar. Kasihan penduduk desa yang telah menanamnya dengan susah payah selama puluhan tahun” ujar Gafur dengan suara datar.

Tekuk Penjalin melangak. Hanya sebatang pohon mangga. Pemuda itu demikian menghargainya. Ia merasa malu karena selama bertahun - tahun membunuh dan memperlakukan manusia bagaikan barang yang tidak berharga.

“Baiklah, kuturuti apa maumu !” kata Tekuk Penjalin sembari melayang turun. Dengan ringan tubuhnya hinggap di atas tanah.

Gafur melakukan hal serupa. Bahkan gerakannya membuat Tekuk Penjalin tercekat.

Cepat bagai kilat namun indah bagaikan sehelai daun kuning jatuh ke tanah.

“Nah, majulah anak muda !” tantang Tekuk Penjalin.

Gafur memang bermaksud segera menyudahi pertempuran itu. Ia merasa kasihan pada para penduduk desa yang terus menerus berjatuhan karena kalah pengalaman dibanding kawanan perampok yang asalnya memang dari pasukan tempur kerajaan Majapahit.

Tampa basa basi lagi Gafur mengerahkan ilmunya. Ilmu silat yang berasal dari Perguruan Al-Karomah. Tekuk Penjalin langsung roboh terjungkal ke tanah. Nafasnya terengah-engah. Mulutnya mengeluarkan darah segar. Beberapa bagian tubuhnya nampak matang biru.

Melihat kenyataan itu. Julung Pujud yang sudah naik ke atas punggung kuda menjadi kecut hatinya. Ia menggiring kudanya secara diam-diam untuk menjauhi arena pertarungan. Rupanya Julung Pujud bersiap-siap hendak melarikan diri jika ternyata pihaknya menderita kekalahan.

“Ilmu setan ……….!” Desis Tekuk Penjalin dengan pandang mata penasaran.

“Andika keliru !” sahut Gafur sembari melangkah mendekati Tekuk Penjalin yang terkapar tanpa dapat bangun lagi.” Kami bahkan sangat membenci ilmu setan. Ilmu yang barusan kupergunakan tadi adalah ilmu Pencak Silat Karomah.”

“Kau berasal dari perguruan mana ?”

Garawesi !” Sahut Gafur menoleh ke arah penduduk yang masih terus bertempur dengan kawanan perampok.

Kemudian berpaling dan mendekati ke arah Tekuk Penjalin.

“Cepat perintahkan anak buahmu untuk menyerah !” Bentak Gafur dengan pandang mata mencorong.

Tekuk Penjalin hanya diam saja. Gafur jadi gelisah. Ia melangkah makin dekat. Sepasang kakinya berdiri di sisi tubuh Tekuk Penjalin yang terkapar. “Jika kau tak mau perintahkan anak buahmu menyerah, maka sekali kuinjakkan kakiku ke dadamu, pasti kau akan mati !” ancamnya tanpa main-main.

Tekuk Penjalin masih tak mau buka suara. Sepasang matanya memandang Gafur dengan penuh penasaran. Rasanya dia masih belum percaya jika telah dirobohkan pemuda itu hanya dalam tiga kali gebrakan. Benar-benar mustahil. Tapi kenyataan telah membuka pandangan hidup bahwa seolah-olah di dunia ini tidak ada orang sakti selain dirinya.

“Cepat ! perintahkan anak buahmu untuk menyerah ! “ Ancam Gafur dengan hati galau. Kini ia mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Siap dihantamkan ke dada Tekuk Penjalin.

Tekuk Penjalin sendiri masih bungkam. Hatinya bergolak, “Bertahun-tahun aku mengembara. Ingin bertemu dengan tokoh silat tingkat tinggi, kini tokoh itu ternyata hanya seorang anak muda. Aku kecewa, daripada hidup menanggung malu, lebih baik aku mati ditangannya.”

Tanpa diduga oleh Gafur, tiba-tiba Tekuk Penjalin menggerakkan mulutnya. Bukan untuk memberi perintah agar anak buahnya menyerah. Melainkan justru meludahi wajah Gafur yang hendak menginjak dadanya.

“Juhhhhh .......... !”

Gafur tak sempat mengelak. Ludah itu menempel di wajahnya. Seketika wajahnya yang putih bersih berubah jadi merah padam pertanda marah.

Sepasang tangannya terkepal erat. Kaki kanannya bergetar hebat menahan amarah. Sekali injak tentu ambrol dada Tekuk Penjalin. Melihat wajah Gafur yang merah membara itu tergetarlah hati Tekuk Penjalin, bagaimanapun sebenarnya dia tidak rela mati begitu saja. Kini lenyaplah kepongahan hatinya. Berubah jadi kecut dan ciut. Wajahnya seketika berubah jadi pucat pasi.

“Kali ini tamatlah riwayatku .......” Desis Tekuk Penjalin melihat kaki kanan Gafur diangkat tinggi-tinggi. Siap menggempur dadanya.

Tiba-tiba terjadilah keanehan. Gafur mengrungkan niatnya menghantam dada Tekuk Penjalin dengan kakinya. Dia menarik kaki kanannya dan berdiri dengan sikap biasa. Terdengar ia menyebut , “Astaghfirullah ..”

Wajahnya yang tadi merah pedam karena dialiri darah amarah yang menggelegak mendadak berubah lagi jadi putih bersih. Perlahan dia membersihkan ludah Tekuk Penjalin yang menempel di wajahnya.

“Mengapa ? mengapa aku tak jadi kau bunuh ?” tanya Tekuk Penjalin keheranan.

“Karena tadi kau telah membuatku marah !” jawab Gafur datar.

“Aku tidak boleh menghukum orang dalam keadaan marah. Itu termasuk dosa !”

“Kenapa berdosa ?” ujar Tekuk Penjalin masih penasaran.” Bukankah aku ini perampok jahat yang pantas di bunuh ?”

“tadi .......... “kata Gafur.” Sebelum kau meludahiku dan sebelum aku marah. Aku boleh membunuhmu karena niatku membunuhmu adalah untuk jihad fi sabilillah, memerangi kejahatan. Tetapi setelah kau meludahi, maka hatiku jadi marah. Yang marah adalah aku pribadi. Karena diri pribadiku tersinggung. Sedangkan aku tak boleh mencampur adukkan antara kepentingan pribadi dengan niat berjuang di jalan Allah. Saat aku marah hatiku sudah menyeleweng dari jalan Allah, jadi aku akan menanggung dosa besar jika membunuhmu atas dasar kebencian pribadi. Bukan atas dasar perang di jalan Allah, yang sesuai dengan ajaran agamaku !”

Tekuk Penjalin tertegun. Hatinya bergolak.

“Betapa luhur ajaran agamamu, apakah nama agama yang kau anut itu ?” tanya Tekuk Penjalin.

“Islam !” jawab Gafur. “Islam artinya selamat. Siapa yang memeluk agama Islam akan selamat hidupnya di dunia dan akhirat.”

“Aku ………. adalah bekas perwira Majapahit yang membelot dan menjadi pemimpin rampok. Kejahatanku bertumpuk-tumpuk, apakah Tuhanmu masih mau mengampuniku ?” tanya Tekuk Penjalin.

“Kenapa tidak ?” Sahut Gafur. “Misalkan dosamu setinggi gunung sepenuh langit dan bumi. Namun kalau kau masuk agama Islam, dan bertobat secara sungguh-sungguh. Artinya kita tidak akan mengulangi perbuatanmu yang jahat, menggantinya dengan perbuatan baik, maka Tuhan akan mengampunimu. Dosa-dosa di masa lalu akan dihapus semua.”

“Benarkah begitu ?” sahut Tekuk Penjalin ragu.

“Aku bicara apa adanya. Dusta adalah suatu dosa !” sahut Gafur.

Tiba-tiba Tekuk Penjalin berusaha bangkit untuk berdiri. Karena tubuhnya masih lemah maka ia segera roboh lagi. Gafur cepat menyambarnya. Sementara itu, pertempuran antara penduduk desa dengan kawanan perampok masih berlangsung seru. Tiba-tiba terdengar bentakan yang membahana.

“Berhenti ! Hentikan pertempuran !”

Semua orang terkejut dan segera menghentikan pertempuran. Ternyata bentak itu berasal dari Tekuk Penjalin. Dia berdiri tegak di samping Gafur. Gafur telah menolong Tekuk Penjalin sehingga tubuhnya kembali segar bugar seperti semula.

“Dengarkan ! Mulai sekarang kutinggalkan dunia kejahatan. Aku tak mau lagi hidup bergemilang dosa. Hari ini juga aku masuk agama Islam dam menjadi pengikut saudara Gafur Satria Mega Pethak !”

Semua orang terkejut mendengar perkataan itu. Baik dari kalangan penduduk desa maupun para perampok itu sendiri. Sementara bagi Pulung Pujud ucapan Tekuk Penjalin itu bagaikan petir menyambar di telinganya. Jika Tekuk Penjalin yang tadinya andalan gerombolannya sudah menyeberang ke pihak lain, maka tamatlah riwayatnya. Tekuk Penjalin menatap wajah seluruh anak buahnya.

“Kalian boleh pilih, tetap menjadi gerombolan perampok dengan risiko diburu petugas pemerintah Majapahit dan dimusuhi seluruh rakyat atau hidup baik-baik, bertobat dan membaur dengan masyarakat !”

Delapan belas perampok itu sekarang tinggal lima belas. Tiga rekannya telah mati di tangan penduduk desa. Delapan orang langsung membuang senjatanya ditanah begitu mendengar seruan Tekuk Penjalin.

Tujuh lainnya berlari ke arah kudanya masing-masing dan bergerak menuju Julung Pujud. “Ki Tekuk Penjalin ! Tidak sudi kami mengikuti jejakmu. Biarkan kami menempuh jalan kami sendiri !”

“Terserah kalian !” sahut Tekuk Penjalin. “Tapi jangan coba-coba mengganggu desa ini lagi. Bila itu kalian lakukan maka aku sendiri yang bakal membasmi kalian !”

“Ha ha ha ha .......... !” Julung Pujud tertawa keras. “Mari anak buahku yang jantan !” kita tinggalkan Tekuk Penjalin yang telah menjadi banci !”

Julung Pujud mendahului memacu kudanya keluar desa. Diikuti tujuh orang anak buahnya yang tidak mau menerima fitrah kebenaran abadi. Beberapa penduduk desa yang masih merasa geram dan dendam segera menendang dan memukuli delapan perampok yang telah menyerah, duduk bersimpuh di atas tanah tanpa mengadakan perlawanan sama sekali.

Gafur segera membentak ke arah penduduk desa, “Hentikan ! tidak pantas menyerang orang yang sudah menyerahkan diri !”

“Mereka sudah membujuk teman-teman kami !” protes penduduk.

“Serahkan mereka padaku. Aku akan mengurusnya !” jawab Gafur dengan suara berwibawa. Kemudian ia memberi isyarat kepada seluruh penduduk untuk berkumpul. Ki Tekuk Penjalin dan anak buahnya duduk bersimpul di belakang Gafur, menghadap ke arah penduduk desa yang segera berkumpul di hadapan Gafur.

“Sudah kalian saksikan sendiri, “Gafur membuka suara.” Muslim yang kuat lebih disukai Allah. Dengan adanya kekuatan kita dapat mempertahankan diri dari pemaksaan kehendak orang lain, itulah sebabnya para pemuda di desa ini kuajari ilmu pencak silat di samping belajar ilmu agama !”

Demikianlah, secara panjang lebar Gafur memberikan bimbingan kepada penduduk setempat untuk mengenal dan memperdalam agama Islam. Bukan hanya sekedar ceramah saja. Melainkan dibuktikan dengan perbuatan nyata. Gafur adalah murid si Kakek Bantal yang ditugaskan membina desa-desa tertinggal, dan masyarakat yang belum mengenal Islam. Dia membantu para penduduk untuk meningkatkan taraf kehidupannya dengan cara membimbing mereka bertanam padi dengan cara yang lebih baik. Dengan ilmu pengobatan yang dipelajari dari gurunya ia juga telah banyak menolong para penduduk yang menderita sakit.

Penduduk setempat akhirnya menaruh simpati. Di saat itulah Gafur baru menawarkan dan mengenalkan keindahan dan keluhuran agama Islam kepada mereka. Tekuk Penjalin dan anak buahnya dibina di desa itu. Akhirnya mereka menjadi orang baik-baik dan menjadi pelindung desa dari rongrongan para perampok.

Itulah cara dakwah yang ditempuh oleh Gafur yang oleh Tekuk Penjalin disebut sebagai Satria Mega Pethak atau Satria Awan putih. Seputih hati dan sebersih jiwa pemuda dalam menempuh perjalanan hidupnya.

Gafur sangat toleran terhadap kepentingan pribadi, patuh terhadap ajaran agama.

Teguh menjauhi kemungkaran dan tiada henti-hentinya menegakkan kebenaran yang dinodai sekelompok orang tak bertanggung jawab. Gafur hanyalah salah satu di antara sekian banyak murid Kakek Bantal yang tinggal di Garawesi atau Gresik. Lalu siapakah si Kakek Bantal itu. “Ya, siapakah sebenarnya Guru saudara Gafur yang disebut Kakek Bantal itu ?” tanya Tekuk Penjalin pada suatu hari.

Gafur tersenyum lalu menjawab, “Kakek Bantal adalah seorang ulama besar dari Negeri Seberang. Beliau tinggal di Jawa, tepatnya di Gresik. Bantal artinya Bumi. Disebut demikian karena beliau mampu membaur dengan penduduk setempat sehingga boleh dikatakan sudah membumi dengan lingkungan dan masyarakat sekitar. Ada pula yang mengatakan Bantal adalah bantal untuk alas tidur, sebab beliau sangat berilmu tinggi. Petuah dan nasehatnya melegakan semua orang yang mendengarkannya sehingga hati dan jiwa menjadi tenang, setenang saat mereka tidur nyenyak diatas bantal empuk.”

2. Menanti Tetes Air

Sejak kematian Maha Patih Gajah Mada dan Prabu Hayam Wuruk, kerajaan Majapahit mengalami kemunduran drastis. Berangsur-angsur kerajaan yang dahulu pernah dipersatukan Gajah Mada, mulai memisahkan diri, baik secara terang-terangan maupun dengan sembunyisembunyi. Namun demikian Majapahit masih merupakan kerajaan terbesar di Pulau Jawa.

Wibawanya masih terasa kuat di dunia luar, walaupun sesungguhnya dari dalam kerajaan itu sudah sangat keropos. Perang saudara antara kerabat istana tiada henti-hentinya. Rakyat menjadi korban. Kesengsaraan dan bahaya kelaparan melanda di mana-mana. Kesetiaan para pembesar dan bupati mulai menipis. Banyak upeti kerajaan yang tidak sampai ke tangan raja. Kejahatan melanda di mana-mana, banyak tindak kekerasan, perampokan dan pencurian. Bahkan banyak satuan-satuan tentara kerajaan yang melepaskan diri dan beralih profesi sebagai gerombolan perampok yang menjarah harta benda kaum bangsawan dan rakyat jelata.

Karena tak ada jaminan stabilitas keamanan maka para penduduk merasa tak tenang dalam mengolah lahan pertanian mereka. Akibatnya bahaya kelaparan melanda di mana-mana. Ditambah adanya musim kemarau panjang di beberapa tempat, maka situasi jadi semakin menggenaskan.

Di saat demikian sesekali si Kakek Bantal dan beberapa muridnya mengadakan peninjauan langsung ke beberapa daerah. Ingin melihat sendiri keadaan dan nasib penduduk setempat. Pada suatu hari Kakek Bantal dan lima orang muridnya sampai di sebuah desa yang teramat gersang. Hampir tak ada pepohonan yang hidup. Tanah-tanah yang terinjak sangat kering, tak ada rerumputan sama sekali.

Mereka terus berjalan hingga tiba di suatu tanah lapang yang cukup luas. Di tengah-tengah tanah lapang itu nampak puluhan penduduk sedang berkerumun. Mengelilingi dua orang pemuda bertubuh kurus sedang berlaga. Dua orang pemuda itu hanya mengenakan celana, tubuh bagian atasnya terbuka. Mereka saling memukulkan sebatang rotan ke punggung masing-masing. Setiap pukulan nampaknya disertai tenaga yang sangat kuat sehingga punggung yang terkena menjadi matang biru bahkan ada beberapa dari melintang yang penuh darah.

Terus menerus kedua pemuda itu saling menghantamkan rotan ditangannya. Hingga kedua punggung anak muda itu penuh luka yang melepuh. Beberapa lelaki yang mengelilinginya menabuh gending untuk memberi semangat. Hingga pada akhirnya kedua pemuda itu roboh ke tanah dalam keadaan pingsan.

Irama gending segera berhenti.

Seorang pendeta berpakaian kuning, yang agaknya menjadi ketua adat segera memberi perintah untuk menyeret kedua pemuda itu keluar arena. Kemudian pendeta itu menuding ke arah seorang gadis yang sedang dicekal kedua lengannya oleh dua orang lelaki bertubuh kekar. “Bawa kemari anak perawan itu !” Teriak sang pendeta.

Kedua lelaki bertubuh kekar menyeret si gadis ke tengah lingkaran menusia berkerumun. Di tengah-tengah lingkaran itu ada batu altar persembahan.

“Jangan ! Jangan bunuh aku !” teriak gadis itu ketakutan. Dia berusaha berontak, namun tenaganya kalah kuat dibanding ke dua lelaki bertubuh kekar yang mencekal dan menyeretnya dengan paksa.

Si gadis yang sudah diberi pakaian putih segera dibaringkan di atas altar. Empat orang lelaki memegangi kedua tangan dan kakinya yang dipentangkan. Gadis itu meronta-ronta ketakutan. Kakek Bantal makin tertarik, ia kelima muridnya makin mendekati kerumunan orang itu. Kini sang pendeta mengangkat tongkatnya tinggi-tinggi sembari mendongkak ke atas langit.

“Wahai Dewa Hujan ! Terimalah perembahan kami ! Hentikan kemarau panjang ini. Curahkan limpahan airmu ke bumi yang gersang ini !” Demikian teriaknya berkali-kali. Si pendeta tua segera mendekati si gadis dengan senyum menyeringai. Ia melemparkan tongkatnya lalu mencabut belati dari balik pinggangnya.

Hai perawan suci, serahkan dirimu dengan rela kepada Dewa Hujan. Sederas darah yang keluar dari jantungmu sederas itu pula hujan yang akan diturunkan oleh sang Dewa. Pengorbanan mu tidak akan dilupakan oleh seluruh penduduk desa ini !”

“Jaj ...... jangan ...... ! Aku tidak mau ...... !” rintih si gadis cantik dengan tubuh gemetar ketakutan.

“Diam !” bentak lelaki berwajah seram yang memegangi tangan si gadis. Wajah si gadis langsung mengkeret, pucat pasi.

“Ayo kita mulai !” kata sang pendeta. Keempat lelaki yang memegangi sepasang tangan dan kaki si gadis makin mempererat cekalannya. San pendeta mendekati altar persembahan.

Ia mengangkat belati itu di atas dada si gadis. Tepat di atas jantungnya. Agaknya ia hendak menikam jantung si gadis cantik dengan belati itu.

“Berhenti !” tiba-tiba terdengar seruan lembut namun jelas terdengar oleh semua orang.

Kakek Bantal dan kelima orang muridnya menerobos kerumunan orang. Langsung menghampiri si pendeta yang memegang belati, siap dihujamkan ke jantung si gadis. “Untuk apa gadis ini dikorbankan ?” tanya Kakek Bantal.

Kami mengharap turunnya hujan !” sahut sang Pendeta dengan nada ketus. Dia sangat tidak suka atas kedatangan Kakek Bantal itu.

“Hujan ?” tanya Kakek Bantal. “Mengharap hujan dengan mengorbankan seorang gadis gadis cantik ?”

“Ya, hanya dengan mengorbankan gadis itu kepada Dewa Hujan maka kami akan mendapat air.” Sahut sang pendeta.

“Sudah berapa kali acara seperti ini dilakukan ?” tanya Kakek Bantal lagi. Sang pendeta tidak segera menjawab. Dia tidak suka urusannya dicampuri orang lain. Maka ia segera memberi isyarat agar kedua orang kaki tangannya yang bertubuh kekar untuk mengusir Kakek Bantal.

Dua orang bertubuh kekar segera menghunus goloknya masing-masing lalu menghampiri Kakek Bantal. Tanpa basa-basi mereka langsung mengayunkan goloknya untuk membelah kepala Kakek Bantal.

Namun sungguh aneh. Saat keduanya mengangkat golok, tiba-tiba gerakannya terhenti. Mereka berdiri kaku dengan golok di tangan sedang terangkat tinggi-tinggi. Sang pendeta terbelalak menyaksikan hal itu.

Namun ia tak mau rencananya berantakan. Segera ditikamnya belati yang dipegangnya ke jantung si gadis cantik. Namun ia berteriak kaget. Tangannya tak dapat digerakkan untuk meluncurkan belati itu ke dada si gadis.

“Kau ...... ? Kau ...... ?” teriak sang pendeta sembari menuding ke arah Kakek Bantal.” Mau apa kau mengganggu jalannya upacara ini ?”

Kakek Bantal dan kelima muridnya maju ke tengah arena.

“Maaf kisanak, sudah berapa kali kau korbankan gadis-gadis suci itu kepada Dewa Hujan ?” tanya Kakek Bantal.

“Sudah dua kali !” jawab pendeta dengan sengit.

“Hem, dua kali, “ulang Kakek Bantal.” Jadi sudah dua jiwa melayang sia-sia !”

“Pengorbanan mereka tidak sia-sia, “Tukas pendeta tua.

“Apakah dengan mengorbankan kedua gadis tadi hujan sudah turun ke desa ini ?” tanya Kakek Bantal.

Pendeta tua tidak segera menjawab, tetapi orang yang berkerumun tanpa dapat dicegah lagi menjawab dengan serentak, “Belum …… “.

Wajah sang pendeta nampak jadi beringas mendengar jawaban orang-orang desa itu. Dengan lantang ia berkata, “Hujan belum turun karena pengorbanan baru dilakukandua kali. Dewa Hujan akan menerima pengorbanan yang dipersembahkan tiga kali. Barulah sesudah itu hujan akan diturunkan !”

Bagaimana jika pengorbanan dilakukan ketiga kalinya tetapi hujan belum turun juga? Tanya Kakek Bantal.

Merah padam wajah sang pendeta. Dia memberi isyarat kepada dua lelaki kekar dibelakangnya untuk meringkus Kakek Bantal yang dianggapnya sebagai pengacau. Dua lelaki itu, yang agaknya adalah pengikut setia sang pendeta segera bergerak maju. Mereka bermaksud menghajar Kakek Bantal hingga babak belur. Tapi sungguh aneh, sepasang kaki mereka tiba-tiba terasa kejang tanpa ada sebabnya. Keduanya melolong kesakitan sembari memegangi pahanya.

“Kau bermaksud menentang kami hai orang asing !” bentak pendeta tua.” Kau sengaja mengganggu upacara kami !”

“Aku tidak bermaksud mengganggu. ujar Kakek Bantal. “Aku dan kelima muridku bermaksud menolong orang-orang desa ini.”

“Puih !” pendeta tua meludah sambil bertolak pinggang.” Apa yang dapat kau berikan kepada warga desa ini ?”

“Apa yang kalian inginkan dari kami ?” Kakek Bantal balik bertanya.

“Hujan ! Kami minta hujan !” jawab para penduduk desa serentak.

“Cuma hujan ?” ujar Kakek Bantal.

Huh !” Dengus pendeta tua.” Lagak bicaramu seolah dunia ini berada dalam genggamanmu ! Coba turunkan kalau kau bisa. Tapi ingat, jika kau gagal melakukannya maka kami tak segan-segan akan membunuhmu, karena kau berani mengganggu upacara kami !”

“Jika Allah mengijinkan maka hujan pun akan segera turun !” kata Kakek Bantal dengan tenang.

“Allah ? Siapa Allah ?” tanya pendeta tua.” Mengapa minta ijin segala kepadanya ?”

“Allah adalah Tuhan yang menciptakan langit dan bumi beserta segala isinya. Termasuk yang menciptakan kita semua,” Ujar Kakek Bantal.

“Sudah ! Jangan bicara ! Jika kau memang bisa menurunkan hujan cepat lakukan saja!” bentak pendeta tua.

“Boleh saja, tapi dengan syarat, jika kami bisa menurunkan hujan aras ijin Allah, maka kalian harus membebaskan gadis itu !” kata Kakek Bantal.

“Untuk apa ?” tukas pendeta tua.” Kedua orang tua gadis itu sudah mati. Dia tak punya sanak kadang, sudah pantas jika dia terpilih sebagai persembahan untuk Dewa Hujan !”

Kakek Bantal menghadap ke arah kerumunan orang-orang desa, kemudian bertanya, Kalau kami dapat menurunkan hujan. Maukah kalian membebaskan gadis itu ?”

“Mauuuuu …… !” jawab orang-orang desa dengan serentak.

“Terima kasih,” jawab Kakek Bantal.” Dalam ajaran agama kami, seorang anak yang ditinggal mati kedua orang tuanya disebut yatim piatu. Tidak boleh disia-siakan dan ditelantarkan, melainkan harus disantuni dan diperhatikan nasibnya. Bukannya dikorbankan kepada Dewa Hujan !”

Para penduduk desa nampak tercenung mendengar ucapan Kakek Bantal. Sementara Kakek Bantal dan kelima muridnya yang selalu berusaha dalam keadaan suci (tak batal wudhu’nya) segera melaksanakan shalat istisqo’ dan berdoá dengan khusyu’nya.

Tak berapa lama kemudian, langit tiba-tiba berubah menjadi hitam oleh mendung yang berarak. Dan hujan turun dengan derasnya. Membasahi bumi yang kering kerontang. Semua orang yang berkumpul langsung bersorak-sorai kegirangan. Hanya pendeta tua dan keempat lelaki yang masih memegangi tangan dan kaki gadis yang berdiam diri dalam keangkuhannya.

“Sihir ! Pasti kalian mempergunakan ilmu sihir, “teriak pendeta tua, “Hujan itu tidak nyata, hanya khayalan saja !”

Kakek Bantal segera menghampiri pendeta tua sembari berkata, “Kisanak, sihir itu terlarang bagi orang Islam. Kami tidak boleh mempelajarinya apalagi mengamalkannya. Hujan ini adalah nyata rahmat dari Allah yang menciptakan langit dan bumi !”

Agaknya pendeta tua itu tak mau mengakui kenyataan yang ada. Dia memberi isyarat kepada keempat anak buahnya yang memegangi si gadis cantik untuk melepaskannya dan segera mengikuti langkahnya pergi meninggalkan desa itu.

Ketika hujan sudah reda, orang-orang yang bersorak sorai kegirangan segera menjatuhkan diri berlutut di hadapan Kakek Bantal dan kelima muridnya. Termasuk si gadis cantik yang hampir saja dikorbankan nyawanya oleh pendeta tua.

“Bangunlah Kisanak semua !” kata Kakek Bantal. “kalian tidak boleh bersujud kepada sesama manusia. Hanya Tuhan Allah yang pantas kalian sembah dalam sujud.”

Setelah mendengar ucapan Kakek Bantal, semua orang segera bangkit untuk bersila, salah seorang dari mereka yang nampaknya berusia lanjut berkata, “Kami sangat berterima kasih kepada Tuan, karena Tuan telah menolong kami menurunkan hujan yang telah lama kami tunggu-tunggu. Bolehkah kami minta diajarkan tata cara meminta hujan seperti tadi ?”

Ya !” sahut penduduk lainnya. “Ajarkan kepada kami cara menurunkan hujan tanpa mengorbankan manusia !”

Kakek Bantal tersenyum arif. Orang-orang desa itu telah manaruh simpati kepadanya. Rasa simpati itulah modal utama untuk memperkenalkan ajaran Islam kepada mereka.

“Kalau kalian ingin diajari cara minta hujan seperti tadi,” kata Kakek Bantal. “Maka kalian harus mengenal dan mempelajari dulu agama Islam. Maukah kalian ?” “Mauuuuuu ...... ! jawab para penduduk dengan serentak.

Demikianlah, selama beberapa hari Kakek Bantal tinggal di desa itu. Membimbing para penduduk desa untuk mempelajari agama Islam sesuai dengan tingkat pemahaman mereka selaku orang awam.

Selanjutnya Kakek Bantal meneruskan perjalanan pulang ke Gresik. Ia telah menugaskan dua orang muridnya yang ahli dalam mengolah lahan pertanian dan bangunan untuk membimbing penduduk desa itu. Sehingga terbinalah imam dan taraf hidup penduduk desa itu.

Pada setiap desa yang dilaluinya Kakek Bantal selalu berbuat kebajikan. Jika dipandang perlu untuk menempatkan muridnya di desa yang disinggahi maka murid itupun ditugaskan untuk membimbing penduduk desa yang dilaluinya.

3. Siapa Kakek Bantal?

Jauh sebelum Kakek Bantal datang ke Pulau Jawa, sebenarnya sudah ada masyarakat Islam di daerah-daerah pantai utara. Termasuk di desa Leran. Hal itu bisa dibuktikan dengan adanya makam seorang wanita bernama Fatimah Binti Maimun yang meninggal pada tahun 475 Hijriyyah atau pada tahun 1082 M.

Bahkan pada tahun 99 H, Sri Maharaja Serindrawarman dari kerajaan Sriwijaya di Sumatra telah masuk Islam. Kemudian pada abad pertama Hijriyyah, menurut K.H. Sirajuddin Abbas, di Pulau Jawa sudah ada seorang raja yang masuk agama Islam yaitu Ratu Sima. Menurut dokumen disebut Ratu Simon. Dalam dokumen itu disebutkan bahwa Rati Sima adalah penguasa kerajaan Kalingga di Jepara Jawa Timur (mungkin dahulu wilayah Jawa Timur, tetapi sekarang kota Jepara adalah daerah Jawa Tengah).

Seorang Khalifah Bani Umaiyah, pengganti Khalifah Sulaiman Bin Abdul Malik, yaitu Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang berkuasa dari tahun 99 – 101 H, pernah berkorespondensi dengan Maharaja Jambi (Sriwijaya) dan Ratu Sima tersebut. Kumpulan dari surat-surat itu masih tersimpan baik di Musium Granada Spanyol sampai sekarang.

Jadi, sebelum jaman Wali Songo, Islam sudah ada di Pulau Jawa yaitu daerah Jepara dan Leran. Tetapi Islam pada masa itu belum berkembang secara besar-besaran. Kakek Bantal diperkirakan datang ke Gresik tahun 1404 M. Beliau berdakwah di Gresik hingga akhir wafatnya yaitu pada tahun 1419.

Pada masa itu kerajaan yang berkuasa di Jawa Timur adalah Majapahit. Raja dan rakyatnya kebanyakan masih beragama Hindu atau Budha. Sebagaian rakyat Gresik sudah ada yang beragama Islam tetapi masih banyak yang beragama Hindu. Atau bahkan tidak beragama sama sekali.

Dalam berdakwah Kakek Bantal menggunakan cara yang bijaksana dan strategi yang tepat berdasarkan ajaran Al-Qurán yaitu :

“Hendaknya engkau ajak kejalan Tuhanmu dengan hikmah (kebijaksanaan) dan dengan petunjuk-petuhjuk yang baik serta ajakan mereka berdialoq (bertukar pikiran) dengan cara yang sebaik-baiknya. (QS An Nahl 125).

Ada yang menyebutkan bahwa beliau berasal dari Turki. Dan pernah mengembara di Gujarat sehingga beliau cukup berpengalaman menghadapi orang-orang Hindu di Pulau Jawa.

Gujarat adalah wilayah negeri Hindia yang kebanyakan penduduknya beragama Hindu. Di Jawa, Kakek Bantal bukan hanya berhadapan dengan masyarakat Hindu, melainkan juga harus bersabar terhadap mereka yang tak beragama maupun mereka yang terlanjur mengikuti aliran sesat, juga meluruskan imam dari orang-orang Islam yang bercampur dengan kegiatan Musyrik. Caranya : Beliau tidak langsung menentang kepercayaan mereka yang salah itu melainkan mendekati mereka dengan penuh hikmah, beliau tunjukkan keindahan dan ketinggian akhlak Islami sebagaimana ajaran Nabi Muhammad SAW.

Dari huruf-huruf Arab yang terdapat di batu nisannya dapat diketahui bahwa Syekh Maulana Malik Ibrahim adalah si Kakek Bantal, penolong fakir miskin, yang dihormati para pangeran dan para sultan ahli tata negara yang ulung, hal itu menunjukkan betapa hebat perjuangan beliau terhadap masyarakat, bukan hanya pada kalangan atas melainkan juga pada golongan rakyat bawah yaitu kaum fakir miskin.

Ayat-ayat Al-Qurán yang tertulis di batu nisannya terdiri dari :

Surat Al-Baqarah ayat 255, terjemahannya :

“Allah, tidak ada Tuhan malainkan Dia, yang hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya), tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi. Tiada yang dapat memberi syafaat di sisi Allah tanpa izin-Nya. Allah mengetahui apa-apa yang ada di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi (ilmu dan kekuasaan) Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya. Dan Allah Mahatinggi dan Mahabesar.”

Surat Ali Imran ayat 185, terjemahannya :

“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu, barang siapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga maka sesungguhnya ia beruntung. Kehidupan di dunia tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.”

Surat Ar-Rahman ayat 25, 27, terjemahannya :

“Semua yang di bumi akan binasa. Dan tetap kekal wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.”

Surat At-Taubah ayat 21, 22, terjemahannya :

“Tuhan mereka menggembirakan mereka dengan memberikan rahmat dari pada-Nya, keridhaan dan surga. Mereka memperoleh di dalamnya kesenangan yang kekal, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Sesungguhnya di sisi Allah pahala yang besar.”

Selanjutnya tertulis data siapa yang dimakamkan di kuburan itu. “Inilah makam Almarhum Almaghfur, yang berharap rahmat Tuhan, kebanggaan para Pangeran, sendiri Sultan dan para Menteri, penolong para fakir dan miskin, yang berbahagia lagi syahid, cemerlangnya simbol negara dan agama, Malik Ibrahim yang terkenal dengan Kakek Bantal. Allah meliputinya dengan Rahmat-Nya dan keridhaan-Nya, dan dimasukkan ke dalam surga. Telah wafat pada hari senin 12 Rabiul Awwal tahun 822 H.”

Menurut literatur yang ada, beliau juga ahli pertanian dan ahli pengobatan. Sejak beliau berada di Gresik hasil pertanian rakyat Gresik meningkat tajam. Dan orang-orang sakit banyak yang di sembuhkannya dengan daun-daunan tertentu.

Sifatnya lemah lembut, welas asih dan ramah tamah kepada semua orang, baik sesama muslim atau dengan non muslim membuatnya terkenal sebagai tokoh masyarakat yang disegani dan dihormati. Kepribadiannya yang baik itulah yang menarik hati penduduk setempat sehingga mereka berbondong-bondong masuk agama Islam dengan suka rela dan menjadi pengikut beliau yang setia.

Sebagai misal, bila beliau menghadapi rakyat jelata yang pengetahuannya masih awam sekali, beliau tidak menerangkan Islam secara njelimet. Kaum bawah tersebut dibimbing untuk bisa mengolah tanah agar sawah dan ladang mereka dapat dipanen lebih banyak lagi, sesudah itu mereka dianjurkan bersyukur kepada Yang Memberikan Rezeki, yaitu Allah SWT.

Dikalangan rakyat jelata Syekh Maulana Malik Ibrahim sangat terkenal, terutama dari kalangan kasta rendah. Sebagaimana diketahui agama Hindu membagi masyarakat menjadi empat kasta; kasta Brahmana, Ksatria, Waisya dan Sudra. Dari keempat kasta tersebut kasta Sudra adalah yang paling rendah dan sering ditindas oleh kasta-kasta yang jauh lebih tinggi. Maka ketika Syekh Maulana Malik Ibrahim menerangkan kedudukan seorang di dalam Islam, orang-orang Sudra dan Waisya banyak yang tertarik, Syekh Maulana Malik Ibrahim menjelaskan bahwa dalam agama Islam semua manusia sama sederajat. Orang sudra boleh saja bergaul dengan kalangan yang lebih atas, tidak dibeda-bedakan. Di hadapan Allah semua manusia adalah sama, yang paling mulia di antara mereka hanyalah yang paling taqwa kepadaNya.

Taqwa itu letaknya di hati, hati yang mengendalikan segala gerak kehidupan manusia untuk berusaha sekuat-kuatnya mengerjakan segala perintah Allah dan menjauhi segala larangannya. Dengan taqwa itulah manusia akan hidup berbahagia di dunia hingga di akhirat kelak, orang yang bertaqwa, sekalipun dia dari kasta Sudra bisa jadi lebih mulia dari pada mereka yang berkasta Ksatria dan Brahmana.

Mendengar keterangan ini, mereka yang berasal dari kasta Sudra dan Waisya merasa lega, mereka merasa dibela dan dikembalikan haknya sebagai manusia utuh sehingga wajarlah bila mereka berbondong-bondong masuk agama Islam dengan suka cita. Setelah pengikutnya semakin banyak, beliau kemudian mendirikan masjid untuk beribadah bersama-sama dan mengaji. Dalam membangun masjid ini beliau mendapat bantuan yang tidak sedikit dari Raja
Carmain.

Dan untuk mempersiapkan kader ummat yang nantinya dapat meneruskan perjuangan menyebarkan Islam ke seluruh Tanah Jawa yang seluruh Nusantara maka beliau kemudian mendirikan pesantren yang merupakan perguruan Islam. Tempat mendidik dan menggembleng para santri sebagai calon mubaligh. Pendirian Pesantren yang pertama kali di Nusantara itu diilhami oleh kebiasaan masyarakat Hindu yaitu para Biksu dan pendeta Brahmana yang mendidik cantrik dan calon pemimpin agama di mandala-mandala mereka.

Inilah salah satu strategi para wali yang cukup jitu; orang Budha dan Hindu yang mendirikan mandala-mandala untuk mendidik kader tidak dimusuhi secara frontal, melainkan beliau-beliau itu mendirikan bentuk Pesantren yang mirip mandala-mandala milik kelompok Hindu dan Budha tersebut untuk menjaring ummat. Dan ternyata hasilnya sungguh memuaskan, dari pesantren Gresik kemudian muncul para mubaligh yang menyebar ke seluruh Nusantara.

Tradisi Pesantren tersebut berlangsung hingga di jaman sekarang. Dimana para ulama menggodok calon Mubaligh di pesantren yang diasuhnya.

Bila orang bertanya sesuatu masalah agama kepada beliau maka beliau tidak menjawab dengan berbelit-belit melainkan di jawabnya dengan mudah dan gamblang sesuai dengan pesan Nabi yang menganjurkan agama disiarkan dengan mudah, tidak dipersulit, ummat harus dibuat gembira, tidak ditakut-takuti.

Seperti tersebut dalam buku History of Java karangan Sir Stamford Raffles; pada suatu hari Syekh Maulana Malik Ibrahim ditanya : “Apakah yang dinamakan Allah itu ?” Beliau tidak menjawab bahwa Allah itu adalah Tuhan yang memberi pahala sorga hambaNya yang berbakti dan menyiksa sepedih-pedihnya bagi hamba yang membangkang kepadaNya.”

Jawabnya cukup singkat dan jelas yaitu, “Allah adalah Zat yang diperlukan adaNya.” Dua tahun sudah Syekh Maulana Malik Ibrahim berdakwah di Gresik, beliau tidak hanya membimbing ummat untuk mengenal dan mendalami agama Islam, melainkan juga memberikan pengarahan agar tingkat kehidupan rakyat Gresik menjadi lebih baik. Beliau pula yang mempunyai gagasan mengalirkan air dari gunung untuk mengairi lahan pertanian penduduk. Dengan adanya sistim pengairan yang baik ini lahan pertanian menjadi subur dan hasil panen bertambah banyak, para petani menjadi makmur dan mereka dapat mengerjakan ibadah dengan tenang.

Andai kata Syekh Maulana Malik Ibrahim tidak ikut membenahi dan meningkatkan taraf hidup rakyat Gresik tentulah mereka sukar diajak beribadah dengan baik dan tenang.

Sebagaimana sabda nabi bahwa kafakiran menjurus pada kekafiran. Bagaimana mungkin bisa beribadah dengan tenang jika sehari-hari disibukkan dengan urusan sesuap nasi. Inilah resep yang harus ditiru.

Seorang imam surau, musholla atau masjid adalah pemimpin jamaahnya. Pada saat imam mengucapkan, “Iya kana’budu waiyya kanasta’in, “KepadaMu kami menyembah dan kepadaMu kami mohon pertolongan. Kemudian makmumnya mengaminkanya. Bisakah sang imam atau pemimpin tadi menjamin bahwa makmumnya benar-benar hanya mengabdi, menyembah dan mohon pertolongan hanya kepada Allah ?

Bagaimana jika shalat makmumnya tidak khusyu’? sebabnya tidak khusyu’ karena masalah ekonomi. Apakah imam yang menjadi wakil makmum menghadapkan diri kepada Tuhan itu bersiap masa bodoh dan tidak menghiraukan masalah ekonomi makmumnya. Sehingga setiap kali memimpin shalat sang imam terus saja berbohong kepada Tuhannya bahwa dia menyatakan siap mengabdi, menyembah hanya kepada Allah saja, tetapi makmum atau orang yang dipimpinnya ternyata belum siap dikarenakan masalah duniawi. Itulah sebabnya para Wali tidak hanya membimbing agama kepada ummatnya melainkan juga berusaha meningkatkan taraf kehidupan ummatnya.

4. Tamu dari Negeri Cermain

Ada ganjalan di hati Syekh Maulana Malik Ibrahim, dia telah berhasil mengislamkan sebagaian besar rakyat Gresik adalah bagian dari wilayah Majapahit. Kalau seluruh rakyat sudah memeluk Islam sementara Raja Brawijaya penguasa Majapahit masih beragama Hindu apakah di belakang hari tidak timbul ketegangan antara rakyat dengan rajanya. Untuk menghindari hal itu maka Syekh Maulana Malik Ibrahim mempunyai rencana mengajak Raja Brawijaya untuk masuk agama Islam.

Hal itu diutarakan kepada sahabatnya yaitu Raja Cermain. Ternyata Raja Cermain juga mempunyai maksud serupa. Sudah lama Raja Cermain ingin mengajak Prabu Brawijaya masuk agama Islam. Pada tahun 1321 M. Raja Cermain datang ke Gresik disertai putrinya yang cantik rupawan. Putri Raja Cermain itu bernama Dewi Sari, tujuannya dalam misi tersebut adalah untuk memberikan bimbingan kepada para putri istana Majapahit mengenal agama Islam.

Bersama Syekh Maulana Malik Ibrahim rombongan dari negeri Cermain itu menghadap Prabu Brawijaya. Usaha mereka ternyata gagal. Prabu Brawijaya bersikeras mempertahankan agama lama dengan ucapan yang diplomatis. Bahwa dia bersedia masuk Islam bila Dewi Sari bersedia dipersuntingnya sebagai istri. Dewi Sari menolak. Tidak ada gunanya masuk Islam bila ditunggangi dengan kepentingan duniawi. Beragam seperti itu hanya hanya akan merusak keagungan agama Islam.

Rombongan dari negeri Cermain lalu kembali ke Gresik. Mereka beristirahat di Leran sembari menunggu selesainya perbaikan kapal untuk berlayar pulang. Sungguh sayang sekali, selama beristirahat di Leran itu banyak anggota rombongan dari negeri Cermain yang diserang wabah penyakit. Banyak diantara mereka yang tewas, termasuk Dewi Sari.

Kabar kematiannya Dewi Sari terdengar ke telinga Prabu Brawijaya. Raja yang memang tertarik dan merasa jatuh cinta kepada Dewi Sari itu kemudian menyempatkan diri beserta ponggawa kerajaan ke desa Leran. Brawijaya sang raja Majapahit itu memerintahkan kepada para ponggawa kerajaan untuk menggali kubur dan memakamkan Dewi Sari dengan upacara kebesaran. Di desa Leran itulah Dewi Sari dikuburkan.

Setelah rombongan dari negeri Cermain meninggalkan pantai Leran maka Prabu Brawijaya menyerahkan seluruh daerah Gresik kepada Syekh Maulana Malik Ibrahim untuk diperintah sendiri dibawah kedaulatan Majapahit. Penyerahan daerah itu adalah siasat dari sang Raja agar rakyat Gresik yang beragama Islam itu tidak memberontak kepada rajanya yang masih beragama Hindu.

Amanat raja Majapahit itu diterima Syekh Maulana Malik Ibrahim denga suka rela. Sesuai dengan ajaran Islam yang menganjurkan perdamaian walaupun dengan kafir zimmi yaitu orang-orang bukan muslim yang mau hidup bersampingan dengan aman dalam satu negara.

Demikianlah sekilas tentang Syekh Maulana Malik Ibrahim, seorang Wali yang dianggap sebagai ayah dari Wali Sanga. Beliau wafat di Gresik pada tahun 882 H atau 1419M.
Readmore »» Sunan Gresik

Sunan Giri

1. Syeh Wali Lanang
Di Awal abad 14 M. Kerajaan Blambangan diperintah oleh Prabu Menak Sembuyu. Salah sorang keturunan Prabu Hayam Wuruk dari kerajaan Majapahit. Raja dan rakyatnya memeluk agama Hindu dan ada sebagaian yang memeluk agama Budha.

Pada suatu hari Prabu Menak Sembuyu gelisah, demikian pula permaisurinya, pasalnya putri mereka satu-satunya telah jatuh sakit selama beberapa bulan. Sudah diusahakan mendatangkan tabib dan dukun untuk mengobati tapi sang putri belum sembuh juga.

Memang pada waktu itu kerajaan Blambangan sedang dilanda pegebluk atau wabah penyakit. Banyak sudah korban berjatuhan. Menurut gambaran babad Tanah Jawa esok sakit sorenya mati. Seluruh penduduk sangat prihatin, berduka cita, dan hampir semua kegiatan sehari-hari menjadi macet total.

Sang Prabu hampir putus asa penyakit yang diderita putrinya. Dewi Sekardadu hanya terbaring di kamarnya, makin hari tubuhnya makin susut, tinggal kulit pembalut tulang. Tanda putri itu masih hidup hanyalah adanya nafas lemah yang masih keluar masuk dari hidungnya. Sepasang matanya tetap terpejam dan wajahnya pucat pasi, hampir seperti mayat.

“Kanda Prabu ……” ujar permaisuri. “Apakah Kanda tega membiarkan anak kita satu-satunya ini terus dalam keadaan begini ?”

“Apa maksudmu Dinda ?” sahut Prabu Menak Sembuyu. “Bukankah aku sudah berusaha mendatangkan semua ahli pengobatan di negeri ini. Bahkan belum lama berselang telah mendatangkan tabib terkenal dari Pulau Dewata. Kurangkah usahaku itu?”

“Bukan, bukan begitu maksudku Kanda ......”

“Lalu apa maumu ?”

“Buatlah sayembara,” kata permaisuri. “Siapa yang dapat menyembuhkan putri kita akan kita beri hadiah, kalau perlu kita ambil sebagai menantu.”

Prabu Menak Sembuyu terdiam beberapa saat. Pada akhirnya dia setuju atas saran istrinya. Segera dia perintahkan mahapatih kerajaan Blambangan yaitu Patih Bayul Sengara untuk mengumumkan bahwa siapa yang dapat menyembuhkan penyakit putrid Dewi Sekardadu akan dijodohkan dengan putrinya itu. Dan siapa dapat mengusir wabah penyakit dari Blambangan maka akan diberi separo dari wilayah kerajaan Blambangan.

Sayembara disebar di hampir pelosok negeri. Sehari, dua hari, seminggu bahkan berbulan-bulan kemudian tak ada seorangpun yang menyatakan kesanggupannya untuk mengikuti sayembara itu.

Permaisuri makin sedih hatinya. Prabu Menak Sembuyu berusaha menghibur istrinya dengan menugaskan Patih Bayul Sengara untuk mencari pertapa sakti guna mengobati penyakit putrinya.

Diiringi beberapa prajurit pilihan, Patih Bayul Sengara berangkat melaksanakan tugasnya. Para pertapa biasanya tinggal di puncak atau lereng-lereng gunung, maka kesanalah Patih Bayul Sengara mengajak pengikutnya mencari orang-orang sakti.

Berhari-hari mereka menempuh perjalanan, masuk hutan keluar hutan, naik dan turun gunung. Pada suatu ketika mereka bertemu dengan seorang Resi bernama Kandabaya.

Untuk membuktikan bahwa Resi Kandabaya itu memang sakti, maka sengaja sang patih memerintahkan para prajuritnya menyerang dan mengeroyok Sang Resi dengan senjata terhunus.

Sepuluh orang maju serentak menyerangsang Resi yang sedang duduk terpekur dalam semedi. Resi itu seperti tak menghiraukan adanya bahaya yang mengancam dirinya. Sepasang matanya masih terpejam. Tapi begitu sepuluh orang itu mendekat kearahnya dalam jarak dua langkah tubuh mereka tiba-tiba terpental sejauh sepuluh tombak, tubuh mereka terjerembab ke tanah, senjata mereka terlepas dari tangan dan mereka meringis kesakitan tanpa dapat bergerak untuk bangub lagi.

Patih Bajul sengara kaget mengetahui hal itu. Tapi dia masih penasaran. Diam-diam dia mencabut kerisnya. Sang Resi masih duduk bersila, sepasang matanya masih terpejam, Seperti tak terusik oleh prilaku Patih Bajul Sengara dan anak buahnya.

“Ssssst !” tiba-tiba Patih Bajul Sengara melempar kerisnya. Tepat kearah jantung sang Resi. Bukan sekedar lemparan biasa, melainkan lemparan seorang Mahapatih kerajaan Blambangan yang tentu juga memiliki kesaktian tinggi. Dan memang, lemparan keris itu disertai pengerahan tenaga dalam tingkat tinggi.

Ujung keris itu meleset ke arah sang Resi, hampir saja menyentuh dada Sang Resi. Namun tiba-tiba keris itu membalik, melesat ke arah Patih Bajul Sengara. Patih Bajul Sengara melengak, secepat kilat dia merundukkan badan. Keris itu melesat di atas tubuhnya. Menghantam sebatang pohon sawo.

“Jresss !” keris itu terbenam ke batang pohon sawo yang cukup besar, tinggal gagangnya saja yang tampak. Patih Bajul Sengara hampik tak berkedip menyaksikan gagang kerisnya itu.

Belum lagi hilang rasa terkejutnya Sang Patih, dilihatnya batang pohon sawo itu mengeluarkan asap dan kulit pohon itu menjadi hitam. Tak lama kemudian buah dan pohon sawo itu rontok, berguguran ke tanah.

Serta merta Patih Bajul Sengara menjatuhkan diri, berlutut didepan sang Resi. Resi Kandabaya masih dalam sikap semula. Duduk bersila dengan mata terpejam. Seperti tak pernah terjadi suatu apa.

“Ampun …… ampunilah kekurangajaran hamba,” ujar Patih Bajul Sengara dengan terbata-bata.

Tak ada reaksi dari sang Resi.

Tiba-tiba ada seekor merpati putih hinggap di depan sang Resi. Merpati itu meletakkan selembar daun lontar yang dijepit di paruhnya. Dan sesaat kemudian merpati itu mengeluarkan bunyi. (mbekur istilah Jawanya). Aneh, sang Resi kemudian membuka sepasang matanya setelah mendengar suara si merpati. Sang Resi tersenyum dan segera mengelus-elus sayap merpati.

“Terima kasih Pethak ………” ujar sang Resi.” Sekarang kau boleh bermain-main atau beristirahat sesukamu.”

Merpati itu mengangguk-anggukkan kepala, seolah mengerti apa yang diucapkan sang Resi. Kemudian dia mengepakkan sayapnya, terbang ke sebuah pohon kenari tak jauh dari Padepokan Resi Kandabaya.

Sang Resi segera mengambil daun lontar yang diletakkan merpati tadi. Dia seperti tak menghiraukan adanya Patih Bajul Sangara yang membenturkan kepalanya berkali-kali ke lantai Padepokan.

“Ampun ......... ampunilah kekurangajaran dan kelancangan hamba menganggu ketenangan Bapa Resi ......... “ Demikian ucap Patih Bajul Sengara.

Resi Kandabaya masih tak menghiraukan sang patih. Dia sedang asyik membaca gurat-gurat berbentuk tulisan di daun lontar yang dipegangnya. Sesudah membaca tulisan didaun lontar, sang Resi bangkit berdiri. Berjalan kearah sepuluh prajurit yang menggeletak kesakitan tanpa dapat bergerak. Hanya dengan beberapa kali tepukan pada bagian-bagian tertentu di tubuh para prajurit itu maka kesepuluh anak buah Patih Bajul Sengara dapat bergerak lagi dan rasa sakit di sekujur tubuh mereka telah hilang. Serta merta sepuluh orang itu menjatuhkan diri berlutut didepan sang Resi.

Tapi Resi itu tidak menghiraukan mereka lagi. Dia berjalan kearah Padepokan tempatnya bersemedi tadi. Tapi kali ini dia tidak duduk bersemedi melainkan tegak didepan Patih Bajul Sengara.

Memang hebat dan sopan caramu bertamu kemari hai Patih Bajul Sengara !” tegur sang Resi.

“Ampun bapa Resi ......... hamba harus yakin bahwa orang yang hendak mintai pertolongan memang benar-benar mumpuni.” ujar Patih Bajul Sengara.

“Ya, aku sudah tahu hal itu,” tukas sang resi. “Kau hendak memintaku mengobati penyakit sang putri Dewi Sekardadu dan mengusir wabah pagebluk dari Blambangan atas perintah Prabu Menak Sembuyu!”

“Mohon ampun Bapa Resi, memang demikianlah adanya kedatangan hamba kemari.”

“Tapi kau salah alamat Patih ! Wabah penyakit itu sudah dikehendaki Dewata Agung. Aku tak mampu mengusirnya, juga tak mampu menyembuhkan Dewi Sekardadu.

“Tapi ……… hamba mohon petunjuk ……… “ kata Patih Bajul Sengara, dia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan yang ada. Mumpung bisa bertemu dengan tokoh seperti Resi Kandabaya dia harus memperoleh hasil, setidak-tidaknya dia harus mendapatkan keterangan bagaimana cara mengobati atau mendapatkan orang yang mampu mengobati Dewi Sekardadu.

Resi Kandabaya seperti mengerti apa yang tersirat di hati Patih Bajul Sengara. Sesudah menarik nafas panjang karena kesal melihat sikap sang Patih diapun berkata, “Baiklah Patih, aku akan memberimu petunjuk. Pada saat itu hanya ada satu orang yang mampu menyembuhkan penyakit Dewi Sekardadu sekaligus mengusir wabah penyakit dari seluruh wilayah Blambangan. Tapi ……”,

Resi Kandabaya tidak meneruskan ucapannya. Ditatapnya tajam-tajam wajah Patih Bajul Sengara. Sang Patih makin menundukkan mukanya, tak ada keberanian baginya untuk bertatap muka dengan Resi yang terbukti sangat sakti itu. “Apapun yang terjadi, hamba ……… juga Gusti Prabu Menak Sembayu takkan peduli asal Dewi Sekardadu sembuh dari sakitnya.” ujar Patih Bajul Sengara untuk menghapus keraguan Resi Kandabaya.

“Benarkah? Tapi aku tidak yakin,” sahut sang Resi.” Akan terjadi sesuatu di luar perhitunganmu dan hal itu akan membakar hatimu. Tapi baiklah, kalau kau ingin mengetahui orang yang hendak menyembuhkan Dewi Sekardadu. Ikutilah merpati putih itu terbang.

Tapi kuperingatkan, jangan kau mencoba bersikap kurang ajar kepada orang yang hendak menyembuhkan Dewi Sekardadu itu. Dan apapun syaratnya yang diajukannya hendaknyan kau dan Prabu Menak Sembuyu meluluskannya.”

“Segala pesan Bapa Resi akan hamba perhatikan baik-baik.”

Sekarang sudah hampir malam, beristirahatlah di Padepokan ini. Besok pagi kalian boleh berangkat menuju gunung Selangu. Merpati putih akan mengantarmu hingga ke tempat tujuan.”

Demikianlah, Patih Bajul Sengara dan anak buahnya malam itu bermalam di Padepokan Resi Kandabaya. Esok harinya mereka sudah bersiap-siap berangkat kegunung Selangu.

“Sampaikan salam perdamaian kepada pertapa di gunung Selangu itu.” Pesan Resi Kandabaya sebelum Patih Bajul Sengara meninggalkan Padepokan.

“Pesan Bapa Resi akan hamba sampaikan,” jawab Patih Bajul Sengara penuh hormat.

Perjalanan ke gunung Selangu memakan waktu yang cukup lama. Walau mereka naik kuda pilihan tapi pada tengah hari barulah mereka sampai di gunung Selangu. Mereka terus mengikuti arah merpati putih terbang menuju suatu tempat. Ketika jalanan semakin naik, maka mereka menambatkan kudanya dan meneruskan perjalanan dengan berjalan kaki.

Akhirnya merpati penunjuk jalan itu berhenti didepan sebuah goa. Saat itu hari mulai gelap. Tapi ada suatu keanehan, dari dalam goa itu memancar sinar terang, sebuah cahaya yang mampu menerangi tempat sekitarnya .

Patih Bajul Sengara memerintahkan para prajurit pengiring untuk menunggu di luar goa. Dia sendiri segera berjalan memasuki goa itu. Makin ke dalam makin terang cahaya yang memancar itu.

Akhirnya sepasang mata Patih Bajul Sengara terbelalak heran, ternyata cahaya itu bukan berasal dari sebuah lampu atau benda melainkan berasal dari tubuh seorang berjubah putih yang sedang bersujud di tanah. Seluruh tubuh dan pakaian orang itu mengeluarkan cahaya terang benderang. Ingat pesan Resi Kandabaya maka Patih Bajul Sengara tidak berbuat macam-macam yang justru akan membahayakan dirinya sendiri. Dengan bersabar dia menunggu orang itu bersujud kemudian duduk bertafakkur. Setelah selesai barulah Patih Bajul Sengara menyapanya.

“Saya Patih Bajul Sengara, datang kemari dengan membawa pesan alam perdamaian dari Resi Kandabaya,” ujar sang Patih.

Aku terima salam Resi Kandabaya,” ujar pertapa itu. “Sudah lama aku bersahabat dengan Resi Kandabaya walaupun hanya melalui selembar daun lontar yang diantar oleh merpati sang Resi.”

Patih Bajul Sengara lalu mengutarakan maksud kedatangannya menemui sang pertapa. Pertapa itu mengangguk –anggukkan kepala mendengar penjelasan sang Patih. “Sebelum aku menyatakan kesanggupanku terlebih dahulu kuperkenalkan diriku ini, “kata pertapa itu. “Namaku Maulana Ishak, berasal dari negeri Pasai. Aku bersedia mengobati Dewi Sekardadu dan sekaligus mengusir wabah penyakit dari Blambangan dengan syarat bahwa Prabu Menak Sembuyu dan keluarganya masuk agama Islam. Dan rakyat Blambangan bersedia mendengar nasehatku.”

Barangkali inilah hal-hal yang termasuk di luar perhitunganku, demikian bisik hati sang Patih. Soal pindah agama dia tidak berani memberi keputusan. Untuk itu dia harus menghadap sang Prabu lebih dahulu. Maka diapun berpamit kepada Syekh Maulana Ishak untuk pulang ke istana Blambangan, menyampaikan persyaratan yang diajukan pertapa itu.

“Ya, ada baiknya anda berunding dengan Prabu Menak Sembuyu lebih dahulu,” kata Syekh Maulana Ishak.

Terpaksa Patih Bajul Sengara kembali ke Blambangan dan menyampaikan persyaratan yang diajukan Syekh Maulana Ishak kepada Prabu Menak Sembuyu.

Tentu saja sangat berat bagi sang Prabu untuk melepaskan agama lama yang terlanjur diyakini selama bertahun-tahun, namun demi rasa kasih sayangnya pada Dewi Sekardadu, maka dia terpaksa memenuhi syarat yang diajukan Syekh Maulana Ishak. Patih Bajul Sengara diperintahkan menjemput Syekh Maulana Ishak. Sesampainya di goa gunung Selangu, Patih Bajul Sengara dipersilahkan berangkat ke Blambangan lebih dahulu. Syekh Maulana Ishak akan menyusul kemudian.

Tetapi betapa terkejut Patih Bajul Sengara ketika sampai di istana Blambangan. Ternyata Syekh Maulana Ishak sudah datang lebih dahulu. Bahkan sang Prabu Menak Sembuyu menegur keterlambatan sang Patih.

Sadarlah sang Patih, bahwa Syekh Maulana Ishak itu benar-benar pertapa sakti yang mumpuni. Dia yang menempuh perjalanan naik kuda masih dikalahkan dengan Syekh Maulana Ishak yang datang ke istana Blambangan hanya berjalan kaki.

Tiga malam Syekh Maulana Ishak melakukan tirakat untuk mengobati Dewi Sekardadu. Di malam keempat, sesudah melaksanakan shalat sunnah hajat ditiupkan wajah sang putri tiga kali. Seketika sang putri membuka matanya dan bangkit dari tidurnya. Seluruh isi istana gembira menyaksikan hal itu terlebih permaisuri dan Prabu Menak Sembuyu.

Prabu Menak Sembuyu menepati janjinya. Syekh Maulana Ishak diambil menantu. Dijodohkan dengan Dewi Sekardadu. Sambil menunggu keadaan tubuh Dewi Sekardadu supaya benar-benar pulih seperti sedia kala, Syekh Maulana Ishak berkeliling ke seluruh negeri Blambangan untuk memberikan nasehat dan memudarkan pengaruh pagebluk yang melanda rakyat Blambangan.

Dari penyelidikan yang dilakukan oleh Syekh Maulana Ishak akhirnya diketahui bahwa rakyat Blambangan sangat ceroboh dalam menjaga kebersihan dan kesehatan mereka. Makanan sehari-hari mereka banyak yang mengandung racun dan penyakit, cara mereka buang hajat disembarang tempat dan mereka jarang mandi atau membersihkan tubuh mereka.

Setelah Maulana Ishak memberikan penyuluhan merawat kesehatan dan membersihkan diri serta lingkungan tempat tinggal. Dan nasehat itu dilaksanakan maka banyaklah rakyat Blambangan yang sembuh dari sakitnya.

Hanya beberapa orang yang penyakitnya tergolong berat terpaksa mendapat perawatan khusus dari Syekh Maulana Ishak. Dan semuanya berhasil disembuhkan seperti sedia kala.

Tibalah pada hari yang ditentukan, pernikahan Dewi Sekardadu dan Syekh Maulana Ishak dilaksanakan. Upacara diselenggarakan dengan penuh meriah. Karena Syekh Maulana Ishak bukan hanya berhasil menyembuhkan penyakit Dewi Sekardadu melainkan juga mengusir wabah penyakit dari Blambangan maka dia juga diangkat sebagai raja muda atau Adipati. Mendapat kekuasaan separo dari wilayah kerajaan Blambangan, sesuai dengan janji yang diucapkan oleh Prabu Menak Sembuyu sendiri.

Menurut Babad Tanah Jawi, dalam upacara pernikahan yang diselenggarakan itu sudah terjadi ketegangan antara Syekh Maulana Ishak dengan pihak keluarga kerajaan. Yaitu disaat jamuan makan dikeluarkan. Ternyata makanan yang dihidangkan kepada Syekh Mulana Ishak kebanyakan adalah terdiri dari daging binatang haram, seperti babi hutan, harimau, ular, kera dan lain-lain.

Posisi Syekh Mulana Ishak pada saat itu sungguh sulit sekali. Kalau dia tidak mau menyantap hidangan itu nantinya disangka bersikap sombong dan menghina Prabu Menak Sembuyu. Jika disantap dagingnya terdiri dari hewan yang diharamkan agama Islam, maka diapun berdoá kepada Allah, memohon jalan keluar yang terbaik.

Sesuai berdoá terjadilah sesuatu diluar dugaan. Daging-daging binatang haram yang sudah dimasak itu tiba-tiba berubah menjadi binatang hidup berloncatan kesana–kemari. Yang asalnya dari ular menjadi ular, yang berasal dari harimau menjadi harimau, yang asalnya babi hutan menjadi babi hutan. Tentu saja suasana menjadi panik. Pesta meriah geger, Syekh Maulana Ishak mengajak isterinya pulang di Kadipaten baru yang harus diperintahnya.

Syekh Maulana Ishak hidup berbahagia bersama istrinya. Tapi hal itu tidak berlangsung lama, karena sejak terjadinya keributan pada jamuan makan itu Patih Bajul Sengara meniupkan isyu jahat kepada Prabu Menak Sembuyu.

Menurut Patih Bajul Sengara, Syekh Maulana Ishak sengaja mempermalukan sang Prabu dengan menghidupkan binatang yang sudah dimasak dan siap dimakan para peserta pesta. Bukan hanya itu saja, keberhasilan Syekh Maulana Ishak berdakwa mengajak rakyat Blambangan masuk Islam dianggap membahayakan kedudukan Prabu Menak Sembuyu selaku penguasa tunggal kerajaan Blambangan. Karena semakin hari semakin banyak pengikut Syekh Maulana Ishak yang masuk Islam. Bahkan tidak sedikit rakyat di wilayah kekuasaan istana Blambangan pindah menjadi penduduk Kadipaten yang dipimpin oleh Syekh Maulana Ishak.

Lama-lama Syekh Maulana Ishak merebut kerajaan Blambangan ini dari tangan Gusti Prabu, demikian hasut Patih Bayul Sengara. “Ya, tidak mustahil dia akan berontak dan memaksa kita benar-benar menjadi pengikutnya. Memang sejauh ini dia tidak tahu bahwa kita pura-pura saja masuk Islam. Tapi pada akhirnya dia pasti mengetahuinya.

Prabu Menak Sembuyu memang hanya pura-pura masuk agama Islam demi kesembuhan putrinya. Kini setelah termakan oleh hasutan Patih Bajul Sengara dia mulai menaruh kebencian kepada menantunya itu.

Tujuh bulan sudah Syekh Maulana Ishak menjadi adipati baru di Blambangan.

Makin hari semakin bertambah banyak saja pengikutnya. Hati Prabu Menak Sembuyu makin panas mengetahui hal ini. Sementara Patih Bajul Sengara tak henti-hentinya mempengaruhi sang Prabu dengan hasutan-hasutan jahatnya.

Patih Bajul Sengara sendiri tanpa sepengetahuan sang Prabu sudah mengadakan terror pada pengikut Syekh Maulana Ishak. Tidak sedikit penduduk Kadipaten yang dipimpin Syekh Maulana Ishak di culik disiksa dan dipaksa kembali kepada agama lama. Walau kegiatan itu dilakukan secara rahasia dan sembunyi-sembunyi pada akhirnya Syekh Maulana Ishak mengetahui juga.

Pada saat itu Dewi Sekardadu sedang hamil tujuh bulan. Syekh Maulana Ishak sadar, bila hal itu diteruskan akan terjadi pertumpahan darah yang seharusnya tidak perlu. Kasihan rakyat jelata yang harus menanggung akibatnya. Maka dia segera berpamit kepada istrinya untuk meninggalkan Blambangan.

“Sungguh tidak pantas seorang anak menantu berperang melawan mertuanya. Lebih tidak tega lagi hatiku bila melihat rakyat yang tak berdosa, sama-sama sewilayah Blambangan harus berperang habis-habisan. Yang diinginkan Rama Prabu adalah diriku, maka relakanlah daku pergi kembali ke Pasai. Bila anak kita lahir laki-laki berilah nama Raden Paku, jika lahir perempuan terserah adinda menamakannya.

Demikianlah, pada tengah malam, dengan hati berat karena harus meninggalkan istri tercinta yang hamil tujuh bulan, Syekh Maulana Ishak berangkat meninggalkan Blambangan seorang diri.

Esok harinya sepasukan besar prajurit Blambangan yang dipimpin Patih Bajul Sengara menerobos masuk wilayah Kadipaten yang sudah ditinggalkan Syekh Maulana Ishak. Tentu saja Patih kecele, walaupun seluruh isi istana di obrak-abrik dia tidak menemukan Syekh Maulana Ishak yang sangat dibencinya.

Sang Patih hanya dapat memboyong Dewi Sekardadu untuk pulang ke istana Blambangan. Seluruh pengikut Syekh Maulana Ishak sudah diperintah Dewi Sekardadu untuk menyerah agar tidak terjadi pertumpahan darah. Patih Bajul Sengara untuk sementara merasa bangga atas kemenangannya itu. Tapi sesungguhnya dendam kesumat masih membara di dadanya.

Dua bulan kemudian dari rahim Dewi Sekardadu lahir bayi laki-laki yang elok rupanya. Sesungguhnya Prabu Menak Sembuyu dan permaisurinya merasa senang dan bahagia melihat kehadiran cucunya yang montok dan rupawan itu.

Bayi itu lain daripada yang lain, wajahnya mengeluarkan cahaya terang. Terlebih Dewi Sekardadu, dengan kelahiran bayinya itu hatinya yang sedih ditinggal suami sedikit terobati.

Seisi istana bergembira.

Lain halnya dengan Patih Bajul Sengara. Dibiarkannya bayi itu mendapat limpahan kasih saying keluarga istana selama empat puluh hari. Sesudah itu dia menghasut Prabu Menak Sembuyu. Kebetulan pada saat itu wabah penyakit berjangkit lagi di Blambangan. Maka Patih Bajul Sengara mengkambing hitamkan Syekh Maulana Ishak sebagai penyebabnya.

“Semua bencana yang menimpa rakyat Blambangan ini disebabkan ulah Syekh Maulana Ishak. Dewa murka karena penduduk Blambangan banyak masuk agama Islam dan meninggalkan kepercayaan lama. Jika penduduk Blambangan ingin terhindar dari bencana kita harus kembali kepada agama lama, dan melenyapkan semua bekas peninggalan Syekh Maulana Ishak,” demikian kata sang Patih.

“Apa maksudmu dengan melenyapkan bekas peninggalan Syekh Maulana Ishak itu?”
tanya sang Prabu.

“Salah satu diantaranya ialah bayi keturunannya, Gusti Prabu !”

Maksudmu aku harus membunuh cucuku sendiri ?”

“Benar gusti Prabu ! Cepat atau lambat bayi itu akan menjadi bencana di kemudian hari. Wabah penyakit inipun menurut dukun-dukun terkenal di Blambangan ini disebabkan adanya hawa panas yang memancar dari jiwa bayi itu !” kilah Patih Bajul Sengara dengan alasan yang dibuat-buat.

Sang Prabu tidak cepat mengambil keputusan, dikarenakan dalam hatinya dia terlanjur menyukai kehadiran cucunya itu, namun sang Patih tiada bosan-bosannya menteror denga hasutan dan tuduhan keji akhirnya sang Prabu terpengaruh juga. Walau demikian tiada juga dia memerintahkan pembunuhan atas cucunya itu secara langsung. Bayi yang masih berusia empat puluh hari dimasukkan kedalam peti dan diperintahkan untuk dibuang kelaut.

“Biarlah Dewata sendiri yang menentukan nasibnya di Samodra.” Ujar sang Prabu kepada Dewi Sekardadu.

Tentu saja Dewi Sekardadu menangis dengan suara menghayat hati. Ibu mana yang rela bayinya dibuang begitu saja tanpa alasan yang masuk di akal. Apalagi tempat pembuangan itu adalah lautan besar di selat Bali.

Dengan hati hancur ia ikut mengantarkan upacara Pelarungan atau pembuangan bayi yang tak berdosa itu. Dengan tatapan kosong ia memandang ke arah peti yang dibuang ke tengah lautan, peti itu makin lama makin ke tengah pada akhirnya hilang dari pandangan mata. Meski demikian wanita muda itu tidak beranjak dari tempatnya. Suasana di tepi pantai itu sudah sunyi senyap, hanya debur ombak yang terdengar membentur batu karang. Matahari mulai condong ke langit barat. Para prajurit yang diperintahkan menunggu Dewi Sekardadu segera pulang ke istana, melaporkan prilaku sang putri yang masih duduk tepekur di tepi pantai.

Di saat para prajurit meninggalkannya itulah Dewi sekardadu beranjak dari tempatnya duduk. Dengan gontai dia melangkahkan kakinya. Bukan ke istana Blambangan. Melainkan mengembara tanpa tujuan yang pasti. Dan tak seorangpun dapat menemukannya lagi.

Belakangan baru diketahui bahwa sikap benci sang Patih kepada Syekh Maulana Ishak adalah dikarenakan ambisinya untuk dapat memperistri Dewi Sekardadu sendiri. Tapi ambisi itu memudar manakala kenyataan berbicara lain, Dewi Sekardadu yang telah lama diimpikannya sebagai batu loncatan untuk dapat mewarisi tahta Blambangan ternyata lebih dahulu di sunting oleh Syekh Maulana Ishak.

Meski demikian ambisi itu tak pernah padam. Setelah berhasil menyingkirkan Syekh Maulana Ishak dari bumi Blambangan, dia berharap akan dapat berjodoh dengan Dewi Sekardadu yang telah menjadi janda, demikian pikir sang Patih. Untuk itu dia harus menyingkirkan putra Syekh Maulana Ishak, supaya Dewi Sekardadu benar-benar dapat melupakan suaminya yang dahulu dan di belakang hari bayi itu tidak menjadi perintang cita-citanya.

Kini, setelah mendengar laporan para prajurit bahwa Dewi Sekardadu yang duduk terpekur di tepi pantai hingga sore hari ternyata sudah tidak ada di tempat. Patih itu kelabakan, dia perintahkan ratusan prajurit untuk mencari sang putrid, namun itu sia-sia belaka. Sang Putri seolah-olah lenyap di telan bumi.

Konon, Syekh Maulana Ishak sebelum meneruskan perjalanan ke negeri Pasai sempat mampir ke Ampeldenta di Surabaya. Kepada Raden Rahmat atau Sunan Ampel dia berpesan, apabila bertemu dengan anak yang pernah dibuang ke laut oleh Prabu Menak Sembuyu itu supaya dinamakan Raden Paku dan hendaklah Raden Rahmat suka mendidiknya secara Islami.

Sudah barang tentu Sunan Ampel tidak berkeberatan menerima amanat itu. Jika kita amati di dalam Babat Tanah Jawa, sesudah pertemuan dengan Sunan Ampel, Syekh Maulana Ishak masih terus mengembara di sekitar Pulau Jawa terutama di bagian Tengah. Dan kemudian beliau mendapat sebutan Syekh Wali Lanang.

Kemudian berangkatlah Syekh Maulana Ishak ke negeri Pasai. Mendirikan perguruan Islam di sana dan terkenal sebutan Syekh Awwalul Islam.

Tetapi, berdasarkan bukti adanya makam Syekh Maulana Ishak di Gresik dekat makam Maulana Malik Ibrahim, maka di duga pada usia lanjut atau pada jaman kejayaan Sunan Giri. Syekh Maulana Ishak itu kembali ke Jawa, mendampingi Sunan Giri yang memerintah di Giri Kedaton dan kemudian wafat di Gresik lalu dimakamkan tak jauh dari komplek pemakaman Syekh Maulana Malik Ibrahim.

2. Joko Samodra

Pada suatu malam ada sebuah perahu dagang dari Gresik melintasi Selat Bali. Ketika perahu itu berada ditengah-tengah Selat Bali tiba-tiba terjadi keanehan, perahu itu tidak dapat bergerak, maju tak bisa mundurpun tak bisa.

Nakhoda memerintahkan awak kapal untuk memeriksa sebab-sebab kemacetan itu, mungkinkah perahunya membentur batu karang. Setelah diperiksa ternyata perahu itu hanya menabrak sebuah peti berukir indah, seperti peti milik kaum bangsawan yang digunakan menyimpan barang berharga.

Nakhoda memerintahkan mengambil peti itu. Diatas perahu peti itu dibuka, semua orang terkejut karena didalamnya terdapat seorang bayi mungil yang bertubuh montok dan rupawan. Nakhoda merasa gembira dapat menyelamatkan jiwa si bayi mungil itu, tapi juga mengutuk orang yang tega membuang bayi itu ke tengah lautan, sungguh orang yang tidak berperikemanusiaan.

Nakhoda kemudian memerintahkan awak kapal untuk melanjutkan pelayaran ke Pulau Bali. Tapi perahu tak dapat bergerak maju. Ketika perahu diputar dan diarahkan ke Gresik ternyata perahu itu melaju dengan pesatnya.

“Ini benar-benar kejadian gaib, kejadian diluar perhitungan manusia biasa. Pertama hanya karena peti perahu ini tak dapat bergerak, kemudian setelah peti ini kita buka perahu tak dapat bergerak maju. Ketika perahu diputar dan diarahkan ke Gresik ternyata perahu itu melaju dengan pesatnya.

“Ini benar-benar kejadian gaib, kejadian diluar perhitungan manusia biasa. Pertama hanya karena petiperahu ini tak dapat bergerak, kemudian setelah peti ini kita buka perahu tak dapat melanjutkan perjalanan ke Pulau Bali. Baiklah kita kembali saja ke Gresik, kita laporkan kejadian aneh ini kepada majikan kita,” demikian kata Nakhoda kepada anak buahnya.

Perahu itupun melaju cepat ke arah Gresik. Tanpa ada halangan dan rintangan. Padahal berdasarkan perhitungan, berlayar ke arah barat saat itu sama dengan menentang gelombang dan badai.

Mereka tiba di pelabuhan Gresik dengan selamat. Tetapi Nyai Ageng Pinatih merasa cemas melihat kapal perahu dagang miliknya kembali lebih cepat dari biasanya. “Apa yang terjadi? Mengapa kalian pulang secepatnya ini ?”

Lebih-lebih setelah diperiksa barang dagangan masih utuh seperti semula. Nyai Ageng Pinatih mulai naik pitam.

Nakhoda perahu tak banyak bicara, dia perintahkan anak buahnya membawa peti berisi bayi ke hadapan Nyai Ageng Pinatih.

“Peti inilah yang menyebabkan kami kembali dalam waktu secepat ini. Kami tak dapat meneruskan pelayaran ke Pulau Bali,” kata sang Nakhoda.

“Hanya karena peti? Apa isinya? Harta karun?” hardik Nyai Ageng Pinatih.

“Inilah isinya, kata Nakhoda sembari membuka tutup peti itu. Sepasang mata Nyai Ageng Pinatih terbelalak heran melihat bayi montok, sehat dan rupawan menggerakgerakkan tangannya sembari menatap ke arahnya.

“Bayi ………. ? Bayi siapa ini ?” guman Nyai Ageng Pinatih sembari mengangkat bayi itu dari dalam peti.

Begitu diangkat bayi itu tampak tersenyum. Hati Nyai Ageng Pinatih berbinar-binar, seketika itu juga dia merasa sangat suka pada si bayi. Lebih-lebih dia itu adalah seorang janda yang tidak dikaruniai seorang putrapun.

“Kami menemukannya di tengah samodra Selat Bali, jawab nakhoda kapal.

“Tengah samodra ?” ulang Nyai Ageng Pinatih.

“Benar Nyai Ageng.”

“Lalu apa rencana kalian atas bayi ini ?”

“Banyak di antara kami yang menyukai bayi itu dan mengambilnya sebagai anak. Tapi kami tahu betapa lama Nyai Ageng mendambahkan seorang putra, maka lebih tepat kiranya bila Nyai Ageng yang merawat dan membesarkan bayi itu.”

“Jelasnya kalian berikan bayi ini kepadaku ?” Nyai Ageng menegaskan.

“Benar Nyai Ageng.”

Nyai Ageng Pinatih merasa sangat berterima kasih kepada nakhoda dan anak buahnya. Memang sudah lama dia mengingingkan seorang anak. Sebagai ungkapan rasa senangnya.... Kepada nakhoda dan anak buahnya.

Selanjutnya bayi itu diambil anak angkat oleh Nyai Ageng Pinatih, seorang janda kaya raya yang disegani masyarakat Gresik. Karena bayi itu ditemukan di tengah samodra maka Nyai Ageng Pinati kemudian memberinya nama Joko Samodra.

Nyai Ageng Pinatih adalah seorang muslimah yang baik, walau Joko Samodra bukan anak kandungnya dia merawat dan membesarkannya dengan penuh kasih sayang. Terlebih Joko Samodra itu ternyata mempunyai sifat yang baik, kepada ibunya dia sangat berbakti selalu bersikap menyenangkan hati. Kepada orang yang lebih tua dia selalu menghormati dan menjunjung tinggi. Kepada teman-teman sebayanya dia tak pernah menyakiti atau berbuat usil. Pendek kata Joko Samodra benar-benar merupakan profil anak yang menjadi buah hati orang tua dan pantas dibanggakan setiap orang tua. Ketika berumur 11 tahun, Nyai Ageng Pinatih mengantarkan Joko Samodra untuk berguru kepada Raden Rahmat atau Sunan Ampel di Surabaya.

Menurut beberapa sumber mula pertama Joko Samodra setiap hari pergi ke Surabaya dan sorenya kembali ke Gresik. Sunan Ampel kemudian menyarankan agar anak itu mondok saja di pesantren Ampeldenta supaya lebih konsentrasi dalam mempelajari agama Islam.

Dalam beberapa minggu saja Sunan Ampel telah dapat mengetahui bahwa Joko Samodra bukanlah anak sembarangan. Muridnya yang satu ini memiliki kecerdasan luar biasa. Semua pelajaran yang diberikan mampu dicerna dan dihafal dalam tempo yang tidak terlalu lama.

Pada suatu malam, seperti biasa Raden Rahmat hendak mengambil air wudhu guna melaksanakan shalat tahajjud, mendoákan murid-muridnya dan mendoákan ummat agar selamat di dunia dan akhirat. Sebelum berwudlu Raden Rahmat menyempatkan diri melihat-lihat para santri yang tidur di asrama.

Tiba-tiba Raden Rahmat terkejut. Ada sinar terang memancar dari salah seorang santrinya. Selama beberapa saat beliau tertegun, sinar terang itu menyilaukan mata, untuk mengetahui siapakah murid yang wajahnya bersinar itu maka Sunan Ampel memberi ikatan pada pada sarung murid itu.

Esok harinya, sesudah shalat subuh, Sunan Ampel memanggil murid-muridnya itu.

“Siapakah di antara kalian yang waktu bangun tidur kain sarungnya ada ikatan ?” Tanya Sunan Ampel.

“Saya Kanjeng Sunan ………. “acung Joko Samodra.

Melihat yang mengacungkan tangan Joko Samodra, Sunan Ampel makin yakin bahwa anak itu pastilah bukan anak sembarangan. Kebetulan pada saat itu Nyai Ageng Pinatih datang untuk menengok Joko Samodra, kesempatan ini digunakan Sunan Ampel untuk bertanya lebih jauh tentang asal usul Joko Samodra. Nyai Ageng Pinatih menjawab
sejujur-jujurnya. Bahwa Joko Samodra di temukan di tengah Selat Bali ketika masih bayi. Peti yang digunakan untuk membuang bayi itu hingga sekarang masih tersimpan rapi di rumah Nyai Ageng Pinatih.

Sunan Ampel kemudian menyempatkan diri datang ke Gresik untuk melihat peti yang masih tersimpan rapi itu. Berdasarkan pengamatan Sunan Ampel peti itu memang berasal dari kalangan istana Blambangan, hal itu diketahui dari ciri-ciri ukiran dan tanda khusus pada peti itu. Yakinlah Sunan Ampel bahwa Joko Samodra adalah putra Syekh
Maulana Ishak yang dibuang ke tengah samodra.

Teringat pada pesan Syekh Maulana Ishak sebelum berangkat ke negeri Pasai maka Sunan Ampel kemudian mengusulkan pada Nyai Ageng Pinatih agar nama anak itu diganti dengan nama Raden Paku. Nyai Ageng Pinatih menurut saja apa kata Sunan Ampel, dia percaya penuh kepada Wali besar yang sangat dihormati masyarakat bahkan juga masih terhitung seorang Pangeran Majapahit itu.

3. Raden Paku

Sewaktu mondok di pesantren Ampeldenta, Raden Paku sangat akrab bersahabat dengan putra Raden Rahmat yang bernama Raden Makdum Ibrahim. Keduanya bagai saudara kandung saja, saling menyayangi dan saling mengingatkan.

Setelah berusia 16 tahun, kedua pemuda itu dianjurkan untuk menimba pengetahuan yang lebih tinggi di negeri Seberang sambil meluaskan pengalaman. “Di Negeri Pasai banyak orang pandai dari berbagai negeri. Disana juga ada ulama besar yang bergelar Syekh Awwallul Islam. Dialah ayah kandungmu yang nama aslinya adalah Syekh Maulana Ishak. Pergilah kesana tuntutlah ilmunya yang tinggi dan teladanilah kesabarannya dalam mengasuh para santri dan berjuang menyebarkan agama Islam. Hal itu akan berguna kelak bagi kehidupanmu yang akan datang.”

Pesan itu dilaksanakan oleh Raden Paku dan Raden Makdum Ibrahim. Dan begitu sampai di negeri Pasai keduanya disambut gembira, penuh rasa haru dan bahagia oleh Syekh Maulana Ishak ayah kandung Raden Paku yang tak pernah melihat anaknya sejak bayi.

Raden Paku menceritakan riwayat hidupnya sejak masih kecil ditemukan di tengah samodra dan kemudian diambil anak angkat oleh Nyai Ageng Pinatih dan berguru kepada Sunan Ampel di Surabaya. Sebaliknya Syekh Maulana Ishak kemudian menceritakan pengalamannya di saat berdakwah di Blambangan sehingga terpaksa harus meninggalkan istri yang sangat dicintainya.

Raden Paku menangis sesenggukan mendengar kisah itu. Bukan menangisi kemalangan dirinya yang telah disia-siakan kakeknya yaitu Prabu Menak Sembuyu tetapi memikirkan nasib ibunya yang tak diketahui lagi tempatnya berada. Apakah ibunya masih hidup atau sudah meninggal dunia. Dalam hatinya telah bertekad untuk pada suatu ketika akan datang ke Blambangan menuntut balas atas kekejaman kakeknya itu. Namun Syekh Maulana Ishak segera meredahkan gelora hati Raden Paku yang masih berusia muda itu. “janganlah kau diperbudak iblis sehingga berniat membalas dendam pada kakekmu, Ujar Syekh Maulana Ishak.” Memang boleh kita membalas perbuatan jahat seorang dengan balasan yang setimpal dengan perbuatannya. Tapi memberi maaf itu lebih baik. Jika engkau pemuda Islam yang baik yang tidak sama dengan pemuda lain dengan menunjukkan kepribadian kita yang baik, sudah otomatis kita berdakwah dengan perbuatan nyata.”

Karena nasehat ayahnya yang bijaksana itu Raden Paku mengurungkan niatnya untuk membalas dendam pada Prabu Menak Sembuyu. Toh raja Blambangan itu masih terhitung kakeknya sendiri.

Di negeri Pasai ulama besar dari negeri asing yang menetap dan membuka pelajaran agana Islam kepada penduduk setempat. Hal ini tidak disia-siakan oleh Raden Paku dan Maulana Makdum Ibrahim. Kedua pemuda itu belajar agama dengan tekun, baik kepada Syekh Maulana Ishak sendiri maupun kepada guru-guru agama lainnya.

Ada yang beranggapan bahwa Raden Paku dikaruniai ilmu laduni yaitu ilmu yang langsung berasal dari Tuhan, sehingga kecerdasan otaknya seolah tiada bandingnya. Disamping belajar ilmu Ta uhid mereka juga mempelajari ilmu Tasawuf dari ulama Iran, Bagdad dan Gujarat yang banyak menetap di negeri Pasai.

Ilmu yang dipelajari itu berpengaruh dan menjiwai kehidupan Raden Paku dalam prilakunya sehari-hari sehingga kentara benar bila ia mempunyai ilmu tingkat tinggi, ilmu yang sebenarnya hanya pantas dimiliki ulama yang berusia lanjut dan berpengalaman. Guru-gurunya kemudian memberinya gelar Syekh Maulana A’inul Yaqin.

Setelah tiga tahun berada di Pasai, dan masa belajar itu sudah dianggap cukup oleh Syekh Maulana Ishak, kedua pemuda itu diperintahkan kembali ke Tanah Jawa. Oleh ayahnya, Raden Paku diberi sebuah bungkusan putih berisi tanah.

“Kelak, bila tiba masanya dirikanlah Pesantren di Gresik, carilah tanah yang sama betul dengan tanah dalam bungkusan ini, disitulah kau membangun Pesantren,” Demikian pesan ayahnya.

Kedua pemuda itu kembali ke Surabaya. Melaporkan segala pengalamannya kepada Sunan Ampel. Sunan Ampel memerintah Makdum Ibrahim berdakwah di daerah Tuban. Sedang Raden Paku diperintah pulang ke Gresik kembali ibu angkatnya yaitu Nyai Ageng Pinatih. “Tiba masanya bagimu untuk berbakti kepada Nyai Ageng Pinatih.” Kata Sunan Ampel. “Walau dia bukan ibu kandungmu tapi dialah yang membesarkan dan merawatmu sejak kecil. Bantulah dagangan ibumu sambil berdakwah. Orang-orang pendahulu kita juga melakukan da’wah sambil berdagang.”

Demikianlah, Raden Makdum Ibrahim berdakwah di Tuban dengan menggunakan gamelan untuk menarik masa maka akhirnya dia dikenal sebagai Sunan Bonang. Sesuai dengan nama gamelan yang sering di gunakan melantunkan lagu-lagu atau tembang keagamaan.

Sedang Raden Paku kembali ke Gresik untuk membantu ibu angkatnya dalam mengurus perdagangan antar pulau.

4. Membersihkan Diri

Pada usia 23 tahun, Raden Paku diperintah oleh ibunya untuk mengawal barang dagangan ke pulau Banjar atau Kalimantan. Tugas ini diterimanya dengan senang hati. Nakhoda kapal diserahkan kepada pelaut kawakan yaitu Abu Hurairah. Walau pucuk pimpinan berada di tangan Abu Hurairah tapi Nyai Ageng Pinatih memberi kuasa pula kepada Raden Paku untuk ikut memasarkan dagangan di Pulau Banjar.

Tiga buah kapal berangkat meninggalkan pelabuhan Gresik dengan penuh muatan. Biasanya, sesudah dagangan itu terjual habis di pulau Banjar maka Abu Hurairah diperintah membawa barang dagangan dari Pulau Banjar yang sekiranya laku di Pulau Jawa, seperti rotan, damar, emas dan lain-lain. Dengan demikian keuntungan yang diperoleh menjadi berlipat ganda. Tapi kali ini tidak, sesudah kapal merapat di pelabuhan Banjar, Raden Paku membagi-bagikan barang dagangan dari Gresik itu secara gratis kepada penduduk setempat.

Tentu saja hal ini membuat Abu Hurairah menjadi cemas. Dia segera memprotes tindakan Raden Paku, “Raden …… kita pasti akan mendapat murka Nyai Ageng Pinatih. Mengapa barang dagangan kita diberikan secara Cuma-Cuma ?”

“Jangan kuatir Paman, “Kata Raden Paku. “Tindakan saya ini sudah tepat.

Penduduk Banjar pada saat ini sedang dilanda musibah. Mereka dilanda kekeringan dan kurang pangan. Sedangkan ibu sudah terlalu banyak mengambil keuntungan dari mereka. Sudahkah ibu memberikan hartanya dengan membayar zakat kepada mereka ?. Saya kira belum, nah sekaranglah saatnya ibu mengeluarkan zakat untuk membersihkan diri.”

“Itu diluar wewenang saya Raden ,” Kata Abu Hurairah. “Jika kita tidak memperoleh uang lalu dengan apa kita mengisi perahu supaya tidak oleng dihantam ombak dan badai ?”

Raden Paku terdiam beberapa saat. Dia sudah maklum bila dagangan habis biasanya Abu Hurairah akan mengisi kapal atau perahu dengan barang dagangan dari Kalimantan. Tapi sekarang tak ada uang dengan apa dagangan Pulau Banjar akan dibeli. “Paman tak usah risau,” kata Raden Paku dengan tenangnya “Supaya kapal tidak oleng isilah karung-karung kita dengan batu dan pasir.”

Walaupun agak konyol tapi benar juga akal itu, demikian pikir Abu Hurairah. Kapal itupun diisi dengan karung-karung yang berisi pasir dan batu. Sekedar menjaga keseimbangan agar kapal itu tidak karam dihantam badai.

Memang benar, mereka dapat berlayar hingga di pantai Gresik dalam keadaan selamat. Tapi hati Abu Hurairah menjadi kebat kebit sewaktu berjalan meninggalkan kapal untuk menghadap Nyai Ageng Pinatih. Dugaan Abu Hurairah memang tepat.

Nyai Ageng Pinatih terbakar amarahnya demi mendengar perbuatan Raden Paku yang dianggap tidak normal itu.

“Ibu jangan terburu marah-marah,” kata Raden Paku. “Lebih baik ibu lihat dulu apakah isi karung-karung dalam kapal itu ?”

“Apakah yang dilihat lagi, Abu Hurairah tak pernah berbohong kepadaku. Pasir dan batu apa susahnya mencari di Gresik ini. Aku tidak keberatan barang dagangan itu kau sedekahkan kepada penduduk Banjar yang menderita tapi pasir dan batu itu buat apa ?”

“Sebaiknya ibu lihat lebih dahulu !” pinta Raden Paku.

“Sudah, jangan banyak bicara, buang saja pasir dan batu itu. Hanya mengotori karung-karung kita saja !” Hardik Nyai Ageng pinatih.

Tapi ketika awak kapal membuka karung-karung itu, mereka terkejut. Karung-karung itu isinya berubah menjadi barang-barang dagangan yang biasa mereka bawa dari Banjar, seperti rotan, damar, kain dan emas serta intan. Bila ditaksir harganya jauh lebih besar ketimbang barang dagangan yang disedekahkan kepada penduduk Banjar. Sejak saat itu Nyai Ageng Pinatih tidak berani menganggap sembarangan pada anak angkatnya. Dia yakin kelak Raden Paku akan menjadi orang besar, seorang yang mempunyai kelebihan dibanding pemuda-pemuda biasa lainnya.

5. Perkawinan Raden Paku

Al-kisah, ada seorang bangsawan Majapahit bernama Ki Ageng Supa Bungkul. Ia mempunyai Sebuah pohon delima yang aneh di depan pekarangan rumahnya. Setiap kali ada orang hendak mengambil buah delima yang berbuah satu itu pasti mengalami nasib celaka, kalau tidak ditimpa penyakit berat tentulah orang tersebut meninggal dunia.

Suatu ketika Raden Paku tanpa disengaja lewat di depan pekarangan Ki Ageng Bungkul. Begitu dia berjalan di bawah pohon delima tiba-tiba buah pohon itu jatuh mengenai kepala Raden Paku.

Ki Ageng Bungkul tiba-tiba muncul mencegat Raden Pakuh, dan ia berkata, “kau harus kawin dengan putriku, Dewi Wardah.”

Memang, Ki Ageng Bungkul telah mengadakan sayembara, siapa saja yang dapat memetik buah delima itu dengan selamat maka ia akan dijodohkan dengan putrinya yang bernama Dewi Wardah. Raden Paku bingung menghadapi hal itu. Maka peristiwa itu disampaikan kepada Sunan Ampel.

“Tak usah bingung. Ki Ageng Bungkul itu seorang muslim yang baik, aku yakin Dewi Wardah juga seorang muslimah yang baik. Karena hal itu sudah menjadi niat Ki Ageng Bungkul kuharap kau tidak mengecewakan niat baiknya itu.” Demikian kata Sunan Ampel.

“Tapi .......... bukankah saya hendak menikah dengan putri Kan jeng Sunan yaitu dengan Dewi Murtasiah ?” Ujar Raden Paku.

“Tidak mengapa?” Kata Sunan Ampel. “Sesudah melangsungkan akad nikah dengan Dewi Murtasiah selanjutnya kau akan melangsungkan perkawinan dengan Dewi Wardah.”

Itulah liku-liku perjalanan hidup Raden Paku. Dalam sehari ia menikah dua kali. Menjadi menantu Sunan Ampel, kemudian menjadi menantu Ki Ageng Bungkul seorang Bangsawan Majapahit yang hingga sekarang makamnya terawat baik di Surabaya. Sesudah berumah tangga, Raden Paku makin giat berdagang dan berlayar antar pulau. Sambil berlayar itu pula beliau menyiarkan agama Islam pada penduduk setempat sehingga namanya cukup terkenal di kepulauan Nusantara.

Lama-lama kegiatan dagang tersebut tidak memuaskan hatinya. Ia ingin berkonsentrasi menyiarkan agama Islam dengan mendirikan pondok Pesantren. Iapun minta izin kepada ibunya untuk meninggalkan dunia perdagangan.

Nyai Ageng Pinatih yang kaya raya itu tidak keberatan. Andaikata hartanya yang banyak itu dimakan setiap hari dengan anak dan menantunya rasanya tiada akan habis, terlebih Juragan Abu Hurairah orang kepercayaan Nyai Ageng Pinatih menyatakan kesanggupannya untuk mengurus seluruh kegiatan perdagangan miliknya, maka wanta itu ikhlas melepaskan Raden Paku yang hendak mendirikan pesantren.

Mulailah Raden Paku bertafakkur di goa yang sunyi, 40 hari 40 malam beliau tidak keluar goa, hanya bermunajat kepada Allah. Tempat Raden Paku bertafakkur itu hingga sekarang masih ada, yaitu desa Kembangan dan Kebomas. Usai bertafakkur teringatlah Raden Paku pada pesan ayahnya sewaktu belajar di Negeri Pasai. Diapun berjalan berkeliling untuk mencari daerah yang tanahnya mirip dengan tanah yang di bawa dari Negeri Pasai.

Melalui desa Margonoto, sampailah Raden Paku di daerah perbukitan yang hawanya sejuk, hatinya terasa damai, iapun mencocokan tanah yang dibawanya dengan tanah di tempat itu. Ternyata cocok sekali. Maka di desa Sidomukti itulah ia kemudian mendirikan pesantren. Karena tempat itu adalah dataran tinggi atau gunung maka dinamakanlah pesantren Giri. Giri dalam bahasa Sangsekerta artinya gunung. Atas dukungan istri-istri dan ibunya juga dukungan spiritual dari Sunan Ampel. Tidak begitu lama, hanya dalam waktu tiga tahun Pesantren Giri sudah terkenal ke seluruh Nusantara.

6. Peranan Sunan Giri Dalam Perjuangan Wali Sanga

Dimuka telah disebutkan bahwa hanya dalam tempo waktu tiga tahun Sunan Giri berhasil mengelola Pesantrennya hingga namanya terkenal ke seluruh Nusantara. Menurut Dr. H.J. De Graaf, sesudah pulang dari pengembaraannya atau berguru ke Negeri Pasai, ia memperkenalkan diri kepada dunia, kemudian berkedudukan di atas bukit di Gresik, dan ia menjadi orang pertama yang paling terkenal dari Sunan-sunan Giri yang ada. Di atas gunung tersebut seharusnya ada istana karena dikalangan rakyat dibicarakan adanya Giri Kedaton ( Kerajaan Giri ) . Murid-murid Sunan Giri berdatangan dari segala penjuru, seperti Maluku, Madura, Lombok, Makasar, Hitu dan Ternate. Demikian menurut De Graaf.

Menurut Babat Tanah Jawa murid-murid Sunan Giri itu justru bertebaran hampir di seluruh penjuru benua besar, seperti Eropa ( Rum ), Arab, Mesir, Cina dan lain-lain.

Semua itu adalah pengembara kebesaran nama Sunan Giri sebagai ulama besar yang sangat dihormati orang pada jamannya. Disamping pesantrennya yang besar ia juga membangun masjid sebagai pusat ibadah dan pembentukan iman ummatnya. Untuk para santri yang datang dari jauh beliau juga membangun asrama yang luas.

Disekitar bukit tersebut sebenarnya dahulu jarang dihuni oleh penduduk dikarenakan sulitnya mendapatkan air. Tetapi dengan adanya Sunan Giri masalah air itu dapat diatasi. Cara Sunan Giri membuat sumur atau sumber air itu sangat aneh dan gaib, hanya beliau seorang yang mampu melakukannya.

7. Sebagai Pemimpin Kaum Putihan

Dalam menentukan hokum agama yang pada saat itu memang sedang menghadapi ujian adanya masalah-masalah ummat yang pelik, Sunan Giri sangat berhati-hati, beliau kuatir terjerumus pada jurang kemusyrikan. Itu sebabnya beliau sangat berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan Hadits Nabi yang sahih.

Ibadah menurut beliau haruslah sesuai dengan ajaran Nabi, tidak boleh dicampuri dengan berbagai kepercayaan lama yang justru bertentangan dengan agama Islam. Karena mahirnya beliau di bidang ilmu fiqih maka beliau mendapat sebutan Sultan Abdul Fakih. Di bidang tauhid beliau juga tak kenal kompromi dengan adat istiadat lama dan kepercayaan lama. Kepercayaan Hindu-Budha atau animesme dan dinamisme harus dikikis habis. Adat istiadat lama yang tidak sesuai dengan ajaran Islam harus dilenyapkan supaya tidak menyesatkan ummat dibelakang hari.

Pelaksanaan syariat Islam di bidang agama ibadah haruslah sesuai dengan ajaran aslinya yang termasuk di dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Karena sikapnya ini maka Sunan Giri dan pengikutnya disebut kaum Putihan atau Islam Putih. Islam Putihan ini artinya adalah dalam beragama mengikuti jalan lurus, putih bersih seperti ajaran aslinya. Pemimpin kaum putihan adalah Sunan Giri yang didukung oleh Sunan Ampel dan Sunan Drajad.

Kalau ada Islam Putihan tentunya ada Islam Abangan, anak Islam Abangan ini adalah para pengikut Sunan Kalijaga yang didukung oleh Sunan Bonang, Sunan Kudus, Sunan Gunung Jati dan Sunan Muria.

Tujuan Aliran Islam Abangan ini adalah agar Islam cepat tersiar keseluruh penduduk Tanah Jawa. Agar semua rakyat dapat menerima agama Islam, karena itu mereka berpendapat :

1.
Membiarkan dahulu adat istiadat yang sukar diubah, atau tidak merubah adat yang berat ditiadakan, sehingga tidak terjadi usaha kekerasan dalam menyebarkan Islam.
2.
Bagian adat yang tidak sesuai dengan ajaran Islam tetapi mudah dihilangkan maka ditiadakan.

3.
Mengikuti dari belakang terhadap kelakuan dan adat rakyat tetapi diusahakan untuk mempengaruhi sedikit demi sedikit agar mereka menerima Islam yang benar.
4.
Menghindarkan terjadinya konfrontasi secara langsung atau terjadinya kekerasan dalam menyiarkan agama Islam. Maksudnya ialah mengambil ikannya tanpa mengeruhkan airnya

5.
Tujuan utama kaum Abangan adalah merebut simpati rakyat sehingga rakyat mau diajak berkumpul, mendekat dan bersedia mendengarkan keterangan apa sih ajaran agama Islam itu ? Jadi tidak dibenarkan menghalau rakyat dari kalangan ummat Islam, melainkan berusaha menyenangkan hati mereka supaya mau mendekat kepada para ulama atau para Wali. Untuk itu tidak ada salahnya penggunaan kesenian rakyat seperti gending dan wayang kulit sebagai media dakwah untuk mengumpulkan mereka.

Itulah pendapat kaum Abangan yang dipimpin oleh Sunan Kalijaga. Perlu diketahui walaupun ada perbedaan dalam cara menyiarkan Islam, tapi pada waktu itu tidak sampai terjadi ketegangan kedua pihak masih sama-sama berfaham Ahlussunah waljamaah dan bermahZab Syafi’i. Kedua pihak sama-sama menyadari pentingnya pos mereka. Pihak Putihan menjaga kemurnian agama Islam agar tidak bercampur dengan faham yang berbau syirik. Sedangkan pihak Abangan adalah mengajak masyarakat atau rakyat secepatnya menjadi pemeluk agama Islam. Bila sudah menjadi pemeluk Islam tinggal menyempurnakan iman mereka saja.

8. Peresmian Masjid Demak

Dalam peresmian Masjid Demak, Sunan Kalijaga mengusulkan agar dibuka dengan pertunjukan wayang kulit yang pada waktu itu bentuknya masih wayang beber yaitu gambar manusia yang dibeber pada sebuah kulit binatang. Usul Sunan Kalijaga ditolak oleh Sunan Giri, karena wayang yang bergambar manusia itu haram hukumnya dalam ajaran Islam, demikian menurut Sunan Giri.

Jika Sunan Kalijaga mengusulkan peresmian Masjid Demak itu dengan membuka pegelaran wayang kulit, kemudian diadakan dakwah dan rakyat berkumpul boleh masuk setelah mengucapkan syahadat, maka Sunan Giri mengusulkan agar Masjid Demak diresmikan pada saat hari jum’at sembari melaksanakan shalat jamaah Jum’at. Sunan Kalijaga yang berjiwa besar kemudian mengadakan kompromi dengan Sunan Giri. Sebelumnya Sunan Kalijaga telah merubah bentuk wayang kulit sehingga gambarannya tidak bisa disebut sebagai gambar manusia lagi. Lebih mirip karikatur seperti bentuk wayang yang ada sekarang ini.

Sunan Kalijaga membawa wayang kreasinya itu dihadapan sidang para Wali.

Karena tak bisa disebut sebagai gambar manusia maka akhirnya Sunan Giri menyetujui wayang kulit itu digunakan sebagai media dakwah. Perubahan bentuk wayang kulit itu adalah dikarenakan sanggahan Sunan Giri, karena itu, Sunan Kalijaga memberi tanda khusus pada momentum penting itu. Pemimpin para dewa dalam pewayangan oleh Sunan Kalijaga dinamakan Sang Hyang Girinata, yang arti sebenarnya adalah Sunan Giri yang menata.

Maka perdebatan tentang peresmian Masjid Demak bisa diatasi.

Peresmian itu akan diawali dengan shalat Jum’at, kemudian diteruskan dengan pertunjukan wayang kulit yang dinamakan oleh Ki Dalang Sunan Kalijaga. Peranan Sunan Giri dalam perjuangan Wali Songo sebenarnya masih banyak, diantaranya akan kami turunkan dalam bab lain di buku ini.

9. Prabu Satmata Dan Giri Kedaton

Semakin hari pengaruh Sunan Giri semakin besar. Kekuatan spiritualnya juga semakin luas. Tidak bisa dipungkiri lagi bahwa pesantren Giri kemudian berubah menjadi kerajaan Giri yang sering disebut Giri Kedaton. Dan Sunan Giri sebagai raja pertama bergelar Prabu Satmata.

Ketika Sunan Ampel wafat pada tahun 1478, maka Sunan Girilah yang diangkat sebagai sesepuh Wali Songo atau Mufti ( pemimpin agama se Tanah Jawa ). Sunan Ampel adalah Penasehat bagian politik Demak. Jasa beliau sungguh besar bagi perjuangan Wali Songo, yaitu menyebarkan agama Islam tanpa kekerasan. Beliaulah yang paling tidak setuju atas beberapa usul agar Raden Patah segera menyerang Majapahit agar Demak dapat berdiri sebagai kerajaan Islam merdeka tanpa harus tunduk kepada Majapahit. Sunan Ampel dan Sunan Giri yang masih terhitung keluarga kerajaan Majapahit memang dianggap Prabu Brawijaya sebagai pembesar atau para Pangeran Majapahit yang berkuasa didaerah masing-masing. Sunan Ampel berkuasa di Surabaya dan Sunan Giri berkuasa di Giri Gresik. Dengan demikian Sunan Ampel adalah orang yang paling tahu situasi kerajaan Majapahit. Ketika beberapa wali mengusulkan untuk menyerbu Majapait, Sunan Ampel menyatakan ketidak setujuannya.

“Tanpa diserbupun Kerajaan Majapahit sudah keropos dari dalam. Lagi pula Prabu Brawijaya Kertabumi itu masih ayah kandung Raden Patah selaku Pangeran Demak Bintoro,” Kata Sunan Ampel. “Apa kata orang nanti bila seorang anak durhaka menyerang dan merebut tahta ayahnya sendiri ? Saya kira Kerajaan Majapahit akan sirna dengan sendirinya, beberapa adipati yang masih beragama Hindu sudah banyak yang ingin merebut kekuasaan. Kita tak usah ikut-ikutan merebut tahta Majapahit yang hanya mencemarkan keagungan agama yang kita anut.”

Ramalan Sunan Ampel memang benar. Tidak lama setelah beliau meninggal dunia. Adipati Keling atau Kediri bernama Girindrawardhana menyerbu kerajaan Majapahit. Ada yang menyebutkan bahwa Prabu Kertabumi atau Ayah Raden Patah itu tewas dalam serangan mendadak yang dilakukan Prabu Girindrawardhana dari Kediri. Setelah Sunan Ampel wafat, penasehat bagian politik Demak digantikan oleh Sunan Kalijaga. Sedang Sunan Giri dianggap sesepuh yang sering dimintai pertimbangan di bidang politik kenegaraan.

Para Wali mengadakan sidang sesudah jatuhnya Majapahit oleh serangan menyerang Prabu Girindrawardhana yang berkuasa di Majapahit. Sebab Raden Patah adalah pewaris utama kerajaan Majapahit. Dengan demikian ketika Demak menyerbu Majapahit bukanlah menyerang Prabu Kertabumi yang menjadi ayah Raden Patah, melainkan justru merebut tahta Majapahit dari tangan musuh Prabu Kertabumi. Pada waktu Prabu Girindrawardhana ini berkuasa di Majapahit pernah berusaha menggempur Giri Kedaton, karena Sunan Giri dianggap salah satu kerabat Prabu Kertabumi. Tetapi serangan itu dapat dipatahkan oleh Sunan Giri.

Kebesaran nama Sunan Giri yang bergelar Prabu Satmata itu juga terdengar oleh seorang Begawan dari Lereng Lawu. Namanya Begawan Mintasemeru. Brahmana ini sengaja datang ke Giri Kedaton untuk menentang Sunan Giri adu kesaktian. Diantara adu kesaktian beragam jenisnya itu, yang paling terkenal adalah adu tebakan. Begawan Mintasemeru menciptakan sepasang angsa jantan dan betina, kemudian dikubur hidup-hidup diatas gunung Patukangan. Sesudah itu dia kembali menemui Sunan Giri.

“Apakah yang baru saya tanam di puncak gunung Patukangan itu, demikian tanya Begawan Mintasemeru menguji Sunan Giri.

“Yang Tuan tanam adalah sepasang naga jantan dan betina!” jawab Sunan Giri dengan tenangnya.

Begawan itu tertawa terbahak-bahak sembari memperolok-olok kebodohan Sunan Giri.

“Jika Tuan Begawan tidak percaya boleh anda lihat lagi, hewan apakah yang Tuan tanam di puncak gunung itu,” kata Sunan Giri.

Sang Begawan menurut. Dia bongkar kuburan sepasang angsa ciptaannya. Ternyata angsa itu lenyap sebagai gantinya adalah sepasang naga yang meliuk-liuk hendak menerkamnya. Tentu saja sang Begawan merasa teramat malu. Selanjutnya dikatakan bahwa Begawan Mintasemeru masih mendemonstrasikan beberapa kesaktiannya yang menakjubkan, tapi semuanya dapat dikalahkan oleh Sunan Giri. Pada akhirnya Begawan Mintasemeru menyerah kalah, tunduk dan masuk Islam, kemudian menyebarkan agama Islam di Gunung Lawu. Legenda tentang adu tebak kewaskitaan itu diabadikan dalam monumen patung sepasang naga di tangga masuk ke makam Sunan Giri yaitu tangga yang sebelah selatan. Disana ada sepasang naga dari ukiran batu yang mirip dengan angsa.

10. Jasa-Jasa Sunan Giri

Jasanya yang terbesar tentu saja perjuangannya dalam menyebarkan agama Islam di Tanah Jawa bahkan ke Nusantara, baik dilakukannya sendiri sewaktu masih muda sambil berdagang ataupun dilakukannya sendiri sewaktu masih muda sambil berdagang ataupun melalui murid-muridnya yang ditugaskan keluar pulau.

Beliau pernah menjadi hakim dalam perkara pengadilan Syekh Siti Jenar, seorang Wali yang dianggap murtad karena menyebarkan faham Pantheisme dan meremehkan syariat Islam yang disebarkan para Wali lainnya. Dengan demikian Sunan Giri ikut menghambat tersebarnya aliran yang bertentangan dengan faham Ahlussunnah wal jama’ah. Keteguhannya dalam menyiarkan agama Islam secara murni dan konsekwen berdampak positif bagi generasi Islam berikutnya.

Islam yang disiarkannya adalah Islam sesuai ajaran Nabi, tanpa di campuri kepercayaan atau adapt istiadat lama. Di bidang kesenian beliau juga berjasa besar, karena beliaulah yang pertama kali menciptakan tembang dan tembang dolanan anak-anak yang bernafas Islam antara lain : Jamuran, Cublak-ublak Suweng, Jithungan dan Delikan. Diantara permainan anak-anak yang dicintanya ialah sebagai berikut :

Diantara anak-anak yang bermain ada yang menjadi pemburu, dan yang lainnya menjadi obyek buruan. Mereka akan selamat dari kejaran pemburu bila telah berpegang pada tonggak atau batang pohon yang telah ditentukan lebih dulu. Inilah permainan yang disebut Jelungan. Arti permainan tersebut adalah seseorang yang sudah berpegang teguh kepada agama Islam Tauhid maka ia akan selamat dari ajakan setan atau iblis yang dilambangkan sebagai pemburu.

Sembari melakukan permainan yang disebut jelungan itu biasanya anak-anak akan menyanyikan lagu Padhang Bulan :

“Padhang-padhang bulan, ayo gage dha dolanan,
dolanane na ing latar,
ngalap padhang gilar-gilar,
nundhung begog hangetikar.”

Artinya adalah sebagai berikut :

“Malam terang bulan, marilah lekas bermain,
bermain di halaman, mengambil di halaman,
mengambil manfaat benderangnya rembulan,
mengusir gelap yang lari terbirit-birit.”

Maksud lagu dolanan tersebut ialah : Agama Islam telah datang, maka marilah kita segera menuntut penghidupan, di muka bumi ini, untuk mengambil manfaat dari agama Islam, agar hilang lenyaplah kebodohan dan kesesatan.

Sunan Giri jauh-jauh sudah memperingatkan umat agar berhati-hati terhadap perubahan jaman. Beliau pernah meramalkan bahwa pada masa yang akan datang akan banyak orang yang mengaku mendapat wahyu Tuhan tetapi sebetulnya mereka sangat jauh dari agama. Bahkan sama sekali tak mengerti ilmu agama. Mereka dipuja-puja
ummat padahal menjadi benalu atau pemeras ummat. Mereka tidak lagi menghiraukan syariat agama, bahkan menginjak-nginjak syariat tersebut dengan mendakwakan dirinya sudah tidak perlu melakukan shalat, tidak perlu berpuasa dan berzakat karena dirinya sudah baik, sudah sempurna. Itulah orang yang tergelincir ilmunya. Mereka sesat dan menyesatkan ummat pengikutnya.

Dimasa yang akan datang juga akan muncul guru-guru ilmu yang merasa ilmunya sudah tinggi, sudah sempurna, mereka mengaku mendapat wangsit dari Tuhan dan karenanya bebas berbuat apa saja. Guru semacam ini justru dipuja-puja para pengikutnya sampai-sampai masyarakat rela mengorbankan harta, harga diri dan jiwanya demi kesenangan sang guru. Dalam kenyataannya ramalan Sunan Giri itu memang sudah sering terbukti. Sudah berapa kalikah masyarakat dibodohi guru-guru semacam itu, mulai dari dukun cabul hingga orang-orang yang mengaku dirinya Wali ternyata adalah bajingan.

11. Para Pengganti Sunan Giri

Sunan Giri atau Raden Paku lahir pada tahun 1442, memerintahkan kerajaan Giri selama kurang lebih dua puluh tahun. Mulai tahun 1487 hingga tahun 1506. Sewaktu memerintah Giri Kedaton beliau bergelar Prabu Satmata. Pengaruh Sunan Giri sangat besar terhadap kerajaan-kerajaan Islam di Jawa maupun di luar Jawa. Sebagai bukti adalah adanya kebiasaan bahwa apabila seorang hendak dinobatkan menjadi raja haruslah memerlukan pengesahan dari Sunan Giri.

Giri Kedaton atau Kerajaan Giri berlangsung selama hampir 200 tahun. Sesudah Sunan Giri yang pertama meninggal dunia beliau digantikan anak keturunannya yaitu :

1.Sunan Dalem
2.Sunan Sedomargi

3.Sunan Giri Prapen
4. Sunan Kawis Guwa

5. Panembahan Ageng Giri
6. Panembahan Mas Witana Sideng Rana

7. Pangeran Singonegoro ( bukan keturunan Sunan Giri )
8. Pangeran Singosari

Pangeran Singosari ini berjuang gigih mempertahankan diri dari sebuah Sunan Amangkurat II yang dibantu oleh VOC dan Kapten Jonker. Serbuan ke Giri itu adalah dalam rangka penumpasan pemberontakan yang dilakukan oleh Trunojoyo seorang murid dari Pesantren Giri yang pernah menyungkir balikkan Surakarta dan bahkan pernah menjadi Raja di Kediri.

Pemberontakan Trunojoyo itu dilakukan karena tindakan sewenang-wenang dari Sunan Amangkurat I yang pernah menumpas dan membunuh 6000 ulama’ Ahlusunnah yang dituduh menyebarkan isu ketidakpuasan rakyat terhadap raja. Padahal itu hanya fitnah dari orang-orang yang menjadi kaki tangan Sunan Amangkurat I, mereka adalah para pengikut faham Manunggaling Kawula Gusti, faham yang diajarkan oleh Syekh Siti Jenar yang ditentang Wali Sanga. Sesudah Pangeran Singosari wafat pada tahun 1679, habislah kekuasaan Giri Kedaton. Yang tinggal hanyalah makam-makam dan peninggalan Sunan Giri.

Yang dirawat oleh juru kunci makam Sunan Giri.
Readmore »» Sunan Giri