Search-form

Selamat Membaca ..... elhaniyya.blogspot.com

Khaulah binti Tsa'labah

Sabtu, 27 November 2010

Beliau adalah Khaulah binti Tsa’labah bin Ashram bin Fahar bin Tsalabah Ghanam bin Auf. Beliau tumbuh sebagai wanita yang fasih dan pandai. Beliaua dinikahi oleh Aus bin Shamit bin Qais saudara darri Ubadah bin Shamit ra yang beliau menyertai Perang Badar dan Perang Uhud dan mengikuti seluruh peperangan yang disertai Rasulullah saw. Dengan Aus inilah beliau melahirkan anak laki-laki yang benama Rabi’.

Khaulah binti Tsa’labah mendapati suaminya, Aus bin Shamit, dalam suatu masalah yang membuat Aus marah. Dia berkata, “Bagiku engkau ini seperti punggung bibiku.” Kemudian Aus keluar setelah mengatakan kalimat tesebut dan duduk-duduk bersama orang-orang beberapa lama, lalu dia masuk dan menginginkan Khaulah. Akan tetapi, kesadaran hati dan kehalusan perasaan Khaulah membuatnya menolak hingga jelas hukum Allah tehadap kejadian yang bau petama kali terjadi dalam sejarah Islam. Khaulah berkata, “Tidak… jangan! Demi yang jiwa Khaulah berada di tangan-Nya, engkau tidak boleh menjamahku kaena engkau telah mengatakan sesuatu yang telah engkau ucapkan tehadapku sehingga Allah dan Rasul-Nya memutuskan hukum tentag peristiwa yang menimpa kita.”

Kemudian Khaulah keluar menemui Rasulullah saw, kemudian dia duduk di hadapan beliau dan menceitakan peristiwa yang menimpa diiya dengan suaminya. Keperluannya adalah untukmeminta fatwa dan bedialog dengan Nabi tentang urusan tesebut. Rasulullah saw besabda, “Kami belum penah mendapatkan perintah bekenaan urusanmu tersebut… aku tidak melihat melainkan engkau sudah haram baginya.”

Wanita mukminah ini mengulangi perrkataannya dan menjelaskan kepada Rasululah saw apa yang menimpa diinya dan anaknya jika dia harus cerai dengan istrrinya, namun Rasulullah tetapmenjawab, “Aku tidak melihat melainkan engkau telah haram baginya.”

Sesudah itu wanita mukminah ini senantiasa mengangkat kedua tangannya ke langit sedangkan di hatinya tersimpan kesedihan dan kesusahan. Pada kedua matanya nampak meneteskan air mata dan semacam ada penyesalan, maka beliau menghadap kepada Yang tiada akan ugi siapa pun yang bedo’a kepada-Nya. Beliau berdo’a, “Ya Allah, sesungguhnya aku mengadu kepada-Mu tentang peristiwa yang menimpa diiku.”

Alangkah bagusnya seorang wanita muslimah semacam Khaulah, beliau berdiri di hadapan Rasulullah saw dan berdialog untuk meminta fatwa, adapun istighatsah dan mengadu tidak ditujukan meainkan untuk Allah Ta’ala. Ini adalah bukti kejenihan iman dan tauhidnya yang telah dipelajari oleh para sahabat kepada Rasulullah saw.

Tiada henti-hentinya wanita ini bedoa hingga suatu ketika Rasulullah saw pingsan sebagaimana biasanya beliau pingsan tatkala meneima wahyu. Kemudian setelah Rasulullah saw sadar kembali, beliau bersabda, “Wahai Khaulah, sungguh Allah telah menuunkan Alquran tentang dirimu dan suamimu,” kemudian beliau membaca, “Sesungguhnya Allah telah mndengar perkataan wanita yang mengajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah. Dan Allah mendengar soal jawab antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat, sampai fiman Allah: “dan bagi orang-orang kafir ada siksaan yang pedih.” (Al-Mujadalah: 1 — 4).

Kemudian Rasulullah saw menjelaskan kepada Khaulah tentang kafarah dhihar:

Nabi: Peintahkan kepadanya (suami Khansa’) untuk memedekaka seorang budak.

Khaulah: Ya Rasulullah, dia tidak memiliki seorang budak yang bisa dia merdekakan.

Nabi: Jika demikian, perintahkan kepadanya untuk shaum dua bulan beturut-turut.

Khaulah: Demi Allah, dia adalah laki-laki yang tidak kuat melakukan shaum.

Nabi: Peintahkan kepadanya membei makan dai kurma sebanyak 60 orang miskin.

Khaulah: Demi Allah, ya Rasululah, dia tidak memilikinya.

Nabi: Aku bantu dengan sepauhnya.

Khaulah: Aku bantu sepauhnya yang lain, wahai Rasulullah.

Nabi: Engkau benar dan baik, maka pegilah dan sedekahkanlah kurma itu sebagi kafarat baginya, kemudian begaullah dengan anak perempuan itu secara baik. “Maka Khaulah pun melaksanakannya.”

Inilah kisah seoang wanita yang mengajukan gugatan kepada pemimpin anak adam yang mengandung banyak pelajaran di dalamnya dan banyak hal yang menjadikan seorang wanita mengangkat kepalanya tinggi-tinggi dengan bangga dan perasaan mulia dan besar perhatian Islam terhadapnya.

Ummul mukminin Aisyah ra berkata tentang hal ini, “Segala puji bagi Allah yang Maha luas pendengaran-Nya terhadap semua suara, telah datang seorang wanita yang mengajukan gugatan kepada Rasulullah saw dia bebincang-bincang dengan Rasulullah saw, sementara aku berada di samping rumah dan tidakmendenga apa yang dia katakan, maka kemudian Allah Azza wa Jalla menurunkan ayat yang artinya, “Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita yang memajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya dan mengadukan (halnya) kepada Allah….” (Al-Mujadalah: 1).

Inilah wanita mukminah yang dididik oleh Islam yang menghentikan Khalifah Umar bin Khaththab ra saat berjalan untuk memberikan wejangan dan nasihat kepadanya. Beliau berkata, “Wahai umar, aku telah mengenalmu sejak namamu dahulu masih Umair (Umar kecil) tetkala engkau berada di pasar Ukadz engkau mengembala kambing dengan tongkatmu, kemudian berlalulah waktu hingga engkau bernama umar, kemudian berlalu hari demi hari sehingga memiliki nama Amirul mukminin, maka betakwalah kepada Allah perihal rakyatmu, dan ketahuilah barangsiapa yang takut akan siksa Allah maka yang jauh akan menjadi dekat dengannya, dan barangsiapa yang takut mati maka dia aka takut kehilangan da barangsiapa yang yakin akan adanya hisab maka dia takut terhadap adzab Allah.” Beliau katakan hal itu, sementara Umar Amirul Mukminin bediri sambil menundukkan kepalanya dan mendenga perkataannya.

Akan tetapi, al-Jarud al-Abdi yang menyetai Umar bin Khaththab tidak tahan mengatakan kepada Khaulah, ‘Engkau telah berbicara banyak kepada Amirul Mukminin wahai wanita!” Umar kemudian menegunya, “Biarkan, dia… tahukah kamu siapakah dia? Beliau adalah Khaulah yang Allah mendengarkan pekatannya dari langit yang ke tujuh, maka Umar lebih behak untuk mendengarkan pekatannya.”

Dalam riwayat lain Umar berkata, “Demi Allah , seandainya beliau tidak menyudahi nasihatnya kepadaku hingga malam hari, maka aku tidak akanmenyudahinya sehingga beliau selesaikan apa yang dia kehendaki, kecuali jika telah datang waktu salat, maka saya akanmengerjakan salat, kemudian kembali untuk mendengarkannya hingga selesai kepeluannya.”

Sumber: Nisa’ Haular Rasuuli, Mahmud Mahdi al-Istanbuli dan Musthafa Abu an-Nashr asy-Syalabi

Al-Islam – Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia


www.alislamu.com

0 komentar:

Posting Komentar